Kamis, 26 Maret 2020

Refleksi Diri dari Film

Berhubung ujian UKMPPD  yang normalnya Mei dilaksanakan tapi jadi  DITIADAKAN, mungkin aku akhirnya punya ide untuk nulis atau cuma ngoceh (?) *angkat bahu*

Tapi aku bukan mau ngoceh tentang "gini amat ya jadi anak FK", tapi tentang hal lain. Ini berkaitan dengan film The Platform yang baru beberapa hari lalu aku nonton. Aku bukan mau bahas banyak ke film, tapi makna dibalik film itu dan betapa relatenya dengan Aku (dan keadaan sekarang).

WARNING : MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER

Singkatnya, film ini bercerita tentang suatu penjara (?) dimana penjaranya itu bertingkat vertikal. Dari penjara no 1 - sekian, berapa banyak tingkat juga para penghuni tidak tau, yang mereka tau banyak sekali dan ratusan. Setiap hari diberi makan 1x sehari dimulai dari penjara lantai 1. Makanan itu akan terus turun ke penjara lantai bawah dan bawahnya lagi. Jadi, orang-orang di lantai 2 akan makan sisa makanan dari lantai 1. Orang-orang dari lantai 3 akan makan makanan sisa dari lantai 2 dan seterusnya sampai bawah. Dan jelas aja, semua orang pada rakus, makan tidak sesuai porsinya, bahkan injak-injak makanan, karena apa? karena ada satu peraturan dimana setiap 1 bulan, penghuni penjara akan dirotasi lantai secara random. Kamu bisa di lantai 4 sekarang tapi bulan depan bisa jadi kamu di lantai 201. Maka siapapun yang masih dalam kategori angka-angka lantai kecil akan makan sesuka hati tanpa menghiraukan lantai 100, 150, 200 dan seterusnya. Mau mereka dapat makan sisa kek, makanan kotor kek atau gak dapat makanan sama sekali kek, orang-orang lantai atas gak peduli. Yang penting saat ini mereka beruntung karena bulan berikutnya  mereka bisa jadi di lantai 100 dan gak dapat makan sama sekali.

Kemudian adalah 1 penghuni baru yang namanya Goreng (aku ketawa waktu tau namanya). Dia masih innocent. Dia diajarin sama teman sekamarnya tentang sistem di penjara itu. Awal-awal dia bingung, kenapa orang bisa berperilaku begitu. Hari-hari awal juga bahkan dia gak makan. Dia berusaha untuk bicara dengan orang di lantai bawah dan atas untuk makan seadanya dan jangan berlebihan. Jelas saja mereka tidak mau dengar.  Tapi karena tuntutan lapar akhirnya dia makan dan beradaptasi mumpung dia masih untung berada di lantai 48 saat itu. Tapi dia tetap baik dan makan seadanya.

1 bulan berlalu, waktunya rotasi dan dia bareng teman kamarnya kedapatan di lantai 171! bukan nomor yang bagus. Teman sekamarnya pun mengikat si Goreng,  karena mereka jelas gak akan kebagian makanan dari lantai-lantai atas, maka Goreng harus jadi tumbal. Padahal mereka udah dekat dan bersahabat. Bayangkan!
Kusingkat saja, intinya si Goreng selamat, teman sekamarnya mati, 1 bulan kemudian dia rotasi dan dapat lantai 33 dengan teman sekamar baru.

Teman kamar barunya persis melakukan yang dulu Goreng lakukan, berusaha ngomong dengan orang lantai bawah supaya makannya dibatasi, yap masih idealis dan innocent. Tapi Goreng, dia sudah paham dengan kejamnya penjara itu, dia hanya diam, tidak banyak komentar, tetap makan biasa seadanya tapi tidak lagi sibuk mengurus orang lain. Tidak lagi sibuk mengurus makanan untuk orang-orang di lantai lebih bawah.
(cerita filmnya masih panjang jadi jangan sedih kalo sudah spoiler sampe sini :p)

BALIK KE KEHIDUPAN NYATA !

Mirip bukan dengan kehidupan nyata?  'orang-orang atas' semakin rakus dan rakus. Hanya mikir yang penting makan, yang penting kenyang, gak peduli 'orang-orang bawah' berjuang mati-matian rebutan untuk dapat makan. Tapiii ketika suatu saat 'orang-orang bawah' tadi naik jadi orang besar a.k.a orang atas, mereka lupa dulu pernah susah, malah justru melanjutkan siklus yang sudah ada di masyarakat.

Daaan seberapa banyak orang-orang idealis dan innocent kayak Goreng yang peduli sesama tapi pada akhirnya sadar akan realita dan akhirnya lebih memilih main aman. Urus diri aja sendiri untuk bertahan hidup, ngapain urus orang lain.

Daaaan sayangnya lagi, aku merasa aku adalah Goreng. Bukan sombong atau apa, tapi aku merasa dulu aku sangat innocent, selalu positif, selalu memotivasi, mengajak pada kebaikan, bermimpi besar, pengen bantu banyak orang, pengen bikin dunia lebih baik. Tapi entah sejak kapan, setelah dihapkan dengan realita dunia yang kejam, aku malah jadi si Goreng setelah dia melewati lantai 177. Aku hanya peduli dengan diriku sendiri. "Urus diri sendiri aja susah apalagi urus orang lain" . Aku jadi main aman. Aku bantu orang kalo aku bisa dengan kemampuanku, aku gak jahatin orang. Kalo aku gak bisa bantu yaudah sori. Aku gak lagi begitu peduli sama orang lain. Gak nanya kalo mereka gak nunjukin punya masalah. Gak inisiatif untuk bantu. Gak berusaha untuk mengajak orang lain bareng-bareng ubah sistem, bareng-bareng bantu orang lain. Gak memberi pendapat di suatu forum. Karena apa? toh mereka gak bakal mau dengar kan? Toh siklusnya akan tetap begini.

Aku jadi tidak percaya sama dunia. Malas berharap. Tidak bermimpi tinggi-tinggi. Tidak percaya dengan sistem. Cuma berusaha 'fit in' , beradaptasi walaupun gak sesuai hati nurani. Menjalankan yang aku anggap benar, tidak melakukan kejahatan. Itu. Tapi betapa menyedihkannya sikap seperti itu sebenarnya?

Waktu aku nonton film itu, aku merasa kalo aku di posisi itu pasti aku bakal kayak teman barunya si Goreng yang di lantai 33 yang peduli dengan orang lain dan terus berusaha setiap hari mengingatkan orang di lantai bawah untuk makan seperlunya. Aku pasti akan terus berusaha selamanya. Tapi kemudian aku tersentil "jangan-jangan aku adalah Goreng" setelah baca review dari Forbes :

"Adults, like Goreng, have been living in the system for too long, and have been shaped by its injustices; they can fight for a better future, but have been hopelessly corrupted in the process. " 


Sedih gak sih. Padahal yo aku blm adult-adult banget 😰. Aku mungkin butuh suatu pemantik yang bisa memicu lagi kepedulian itu. entah apa itu. Semoga aku (dan manusia-manusia lainnya seperti Goreng dan aku 😏) berani ambil langkah untuk berusaha membuat dunia lebih baik seperti Goreng pada akhirnya (makanya nonton filmnya biar tau 😛). Seperti apa yang hati nurani kita bisikkan. Semoga kita tetap menjaga niat-niat baik nan mulia masa kecil kita hingga tua nanti.



Aaamiin



NB
1. Lebay banget w anak kampung bahas-bahas "dunia" :p
2. ini 2 link ending explanation film The Platform yang bagus menurut w

Yang Dipikirkan Sahabat Jomblo Setiap Kita Cerita Kisah Cinta

 Warning: tulisan ini tidak sengaja aku temukan di buku catatanku. Aku juga gak tau ini jaman aku SMA atau Kuliah. Jujur saja aku juga kaget...