Jumat, 21 September 2018

Salahkah Aku?

Untuk mereka yang selalu berpikir aku kompet, ambisius, negative thinkking atau sejenisnya

Aku hanya seseorang yang pikirannya jauh. Aku memikirkan apa yg harus ku lakukan besok, minggu depan bahkan tahun-tahun depan

Aku hanya seseorang yang tidak bisa hanya menunggu waktu besok untuk datang tanpa mempersiapkan yang terbaik hari ini untuk esok.

Aku hanya tipe orang yang "sakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian". Lalu salahkah aku jika aku ingin cepat selesai, supaya bisa santai kemudian?

Aku hanya seseorang yang tidak mau menyesal di akhir. Lalu salahkah aku kalau aku berusaha yang terbaik?

Aku hanya seseorang yang berprinsip "Prepare for the worst". Lalu salahkah aku kalo aku terlalu berencana tentang banyak hal dan mempersiapkan plan A,B,C dan seterusnya? Aku bukan negative thinking, hanya saja tidak segala yang kita inginkan dan rencanakan bakal terjadi. Aku pun punya prinsip "Always Hope for the Best"

Aku hanya seseorang yang memang kepo dan gampang penasaran. Lalu salahkah aku jika aku ingin tau lebih dari sekedar standar atau yang diwajibkan? Beside, rasa penasaranku bukan hanya pada ilmu atau pelajaran tapi hal-hal lainnya.

Aku hanya seseorang yang merasa "kerjakan apa-apa kalo bisa sebaik mungkin". Lalu masih salahkah aku? Aku kecewa jika tidak mendapat akhir yang baik, tapi aku jauh lebih kecewa jika aku mendapat akhir yang baik karena tidak berusaha melakukan yang terbaik.

Aku juga bukan orang yg benar-benar berorientasi pada 'hasil', aku tau betapa pentingnya sebuah 'proses'. 'Hasil' sesungguhnya hanya bonus dari 'proses' tadi.

Jadi maafkan aku jika aku kompet
maafkan aku jika aku ambisius
maafkan aku jika aku negative thinking
dan
maafkan aku karena tidak sesuai dengan ekspektasi dan prinsipmu

Sabtu, 08 September 2018

Cerita Koas : Jiwa-jiwa yang Tenang

Habis dari Interna terus masuk ke Jiwa itu rasanya kayak Hmmm hmmm hmmm nya Nissa Sabyan. Interna yang klinis bgt, penyakit bgt, science banget, eksak banget, dokter banget  ke Jiwa yang isinya main-main perasaan. Eet eet perasaan jangan dimainin kata nenek itu berbahaya heeeey ~~ *nyanyi* . Gak nyambung oke kita ganti paragraf

Jiwa itu justru kayak serba : belum dapat dijelaskan. Ya emang sih neurotransmitter dan lain-lain tapi tetap aja kenapa begitu itu kayak masih menjadi Misteri. Tapi justru itu aku sadar, bahwa gak segala sesuatu  itu bisa dijelaskan, gak segala sesuatu itu ada ilmunya. Sometimes ya emang terjadi aja. Kalo kata Ed Sheeran maybe just a part of a plan. Dengan begitu juga kamu percaya bahwa ada sesuatu dibalik itu semua. Ada hal-hal yang gak bisa dijangkau oleh ilmu manusia. Oke, terlalu dalam. Ganti paragraf.

Tak disangka Staff-staff a.k.a Dokter-dokter spesialis Jiwa pada ramah. Seperti yang sudah aku sebutkan di postingan sebelumnya, mereka selalu mau tau nama kita siapa, darimana, anak keberapa, kerja orangtua apa, asal darimana, khasnya daerah kita apa, artis dari daerah kita siapa, sampe jodoh-jodohin yang sesama daerahnya. Begitu aja, aku merasa dihargai (aku emang wanita sederhana ya).

Mungkin karena di jiwa itu penting banget ya memperhatikan perasaan pasien. Bahwa sakit itu bukan hanya disebabkan ada yang salah dari organnya tapi ada yg salah dari psikologisnya. Attitude penting banget dijiwa. Ahli ngomong juga penting banget disini. Bakat-bakat sering dicurhatin teman dan sering menasihati tentang masalah berkaitan hubungan dengan pacar walaupun sendirinya gak pernah pacaran, cocok banget disini.  Kalo interna senjatanya alat KUVS, disini senjatanya dari mulut kita aja.

Banyak hal-hal yang menurut kita biasa aja atau "ah gitu doang" itu ternyata belum tentu biasa aja buat orang lain. Kepala terbentur  biasa aja udah bisa sampe bikin perubahan perilaku. Putus cinta aja sampe bikin gangguan jiwa bertahun-tahun. Memang cinta itu berbahaya.  Ada yg gak ada pemicu-pemicu apa-apa eh kena aja.  Curious bgt sih tentang berbagai macam gangguan-gangguan yang bahkan bisa aneh banget. Yang paling bikin aku terkesan itu tentang Disocciative Identity Disorder/multiple personality disorder  dan fugue disiosiatif.   Bagaimana mungkin 1 orang bisa punya kepribadian yang jelas sangat berbeda, bisa mempengaruhi kepribadian yang lain tapi tapi aaah susah deh dijelasin. Gara-gara ini aku rela nonton film taun 1957 yang masih itam putih itu yang katanya based on true story. Keren banget sih gila aku gak nyesal nontonnya dan membuat diriku yang bego ini jadi lebih mengerti. Recommended lah judulnya The Three Faces of Eve.  Oiya selama di Jiwa ini aku banyak nonton film-film kejiwaan supaya lebih paham . Ehemz :p

Beruntungnya diriku adalah aku dan teman sekloter haji itu sempat dapat Stase RSJ.  Padahal nih udah 2 bulanan stase RSJ sempat diberhentikan mbuh lah urusan administrasi kebijakan manajemen begitu-begitu. Eh alhamdulillahnya tanpa diduga kita ujug-ujug minggu ke3 disuruh aja ke RSJ. Disitulah petualangan di mulai.

Ada berbagai macam pasien yang berlimpah dibanding poli dan bangsal di RSUD biasa. Cerita mereka berbeda-beda. Let me tell you some of them.

Mbak SI adalah pasien pertamaku yang bener-bener aku full wawancara sendiri. Dia masih 27 tahun. Dia gak merasa sakit. Sangat normal malah kelihatannya. Awalnya aku mikir kasian banget digabung dengan teman-teman lainnya yang kondisinya agak parah. Logat Mbaknya agak lain, ternyata dia sempat kerja di Malaysia jadi logatnya logat sana. Dia kooperatif, nyambung juga diajak bicara, katanya suka baca, buat puisi, nulis.  Disini nih pentingnya menggali lubang tutup lubang, lama-lama mulai ada anehnya. Waham kebesarannya muncul, katanya banyak yang suka sama dia. Lama-lama bilang juga kalo malam sering keluar keliling kampung untuk jagain kampung dari maling. Dan dia kelilingnya sendiri, setiap hari, jadi bukan suatu giliran ronda. Bipolar.

Setelah dikonfirmasi ke keluarga via telepon, ternyata mbaknya juga suka keluyuran, nyapu rumah sampai ke halaman-halaman kampungnya di sapu, marah-marah, suka berpakaian rapi kayak orang kerja padahal gak, berani sama keluarga dan lain-lain. Katanya mulai berubah sejak pulang dari Malaysia itu. Di Malaysia kenapa-kenapa juga gak tau.

Daan so sweetnya adalah di hari ketiga aku masuk kebangsalnya dia (selama 3 hari tetap masuk bangsal tsb untuk wawancara pasien lain tapi aku tetap menyapa Mbak SI), dia tiba-tiba "ini untuk kamu" sambil ngasih kertas kecil gitu. Ternyata itu sejenis puisi yang dibuat. Awwww. Padahal yang wawancara dia bukan cuma aku aja lho, tp yg dikasi aku doang. Thanks Mbak SI, semoga sehat terus ya baik fisik dan jiwa semoga kita bisa ketemu lagi di lain waktu.

Selama berinteraksi dengan pasien-pasien Jiwa, aku belajar 1 hal yang penting banget : KEBUTUHAN UNTUK DI DENGARKAN ITU TINGGI BANGET

Semua pasien-pasien bangsal di RSJ berebuatan pengen di wawancarai. Mereka ingin bercerita. Mereka ingin di dengarkan. Pasien-pasien Gangguan Jiwa bukan cuma butuh dikasih barang berharga, uang bulanan oleh anak-anak mereka, mereka juga ingin ditanyai kabar, ingin diajak bicara, ingin ada seseorang untuk berbagi cerita. Perasaan yang dipendam bisa banget bikin orang merasa sendiri, kemudian emosinya numpuk-numpuk dan bikin gangguan jiwa. Seorang keluarga pasien yang mengantarkan ibunya yang Skizofrenia bilang ke aku : "Ternyata ya Mbak, nyenangin hati orang tua itu bukan cuma memenuhi apa yang dibutuhkan, ngasih ini itu, tapi harus juga jaga hatinya, dengarin curhat-curhatnya, dan menjadi tempat pelariannya kalo ada masalah"

Aku juga terkesima dan tersadara saat seorang Res Jiwa Pin Biru (Kasta tertinggi Per-Residen-an) bilang : "Jangan bilang orang kena gangguan jiwa karena kurang bagus agamanya, kurang tebal imannya, jelek pengendalian emosinya, kurang berpendidikan dan lain-lain. Karena gangguan jiwa itu bisa mengenai siapa saja, orang alim/tidak, orang kaya/miskin, orang pintar/tidak, orang baik-baik/tidak". Ya, dulu aku sempat berfikir demikian seperti orang-orang kebanyakan tapi sekarang aku sadar semua, siapa saja, bisa terkena gangguan jiwa karena memang banyak faktor yang mempengaruhi. Jadi JANGAN JUDGE orang yang kena gangguan jiwa karena dia gak alim atau sebagainya.


Ada 1 hal lagi yang bikin aku terkesima. Seorang Dokter Laki-laki  Sp.KJ bilang di suatu bimbingan, "sebenarnya penyebaran agama lewat Nabi itu awalnya adalah suatu waham". Waham, suatu isi pikir/keyakinan yang tidak logis bagi orang-orang kebanyakan, sesuatu yang 100% dipercayai oleh yang punya waham, bersifat egosentris, sulit untuk dikoreksi oleh orang lain, dan hidup sesuai wahamnya. Misalnya Nabi Muhammad yang melakukan perjalanan Isra' Miraj. Nabi pergi ke langit ke7, naik Buroq (kendaraan tercepat di seluruh jagad), bertemu malaikat, bertemu Nabi-nabi lainnya, bertemu Alloh. Semuanya itu hanya Nabi Muhammad sendiri yang mengalami lalu diceritakan ke orang-orang.  Bagi orang-orang umum tentu itu sangat tidak logis dan mustahil. Kemudian dianggaplah Nabi Muhammad gila/waham tadi. 

Yang aku pikirkan dan salutkan adalah bagaimana mungkin pengikut-pengikut Nabi bisa percaya dengan cerita Nabi yang mustahil itu? cerita Nabi yang hanya Nabi sendiri yang mengalami? Bagaimana mungkin pengikut-pengikut Nabi bisa percaya padahal jelas-jelas Nabi sudah memenuhi 5 kriteria waham tadi? Bagaimana mereka bisa yakin bahwa Muhammad itu memang Nabi?

I mean, berarti Iman sahabat-sahabat Nabi saat itu memang tinggi sekali. Mereka tetap percaya pada Nabi walaupun sebenarnya kejadian Isra' Miraj tadi memang normalnya tidak masuk diakal. Mereka tidak kemudian ragu bahwa jangan-jangan Muhammad itu memang gila. Mereka percaya 100%. Mereka percaya pada Alloh, sesuatu yang gaib, sesuatu yang tak terlihat dengan mata. Mereka korbankan uang, waktu, tenaga, kampung halaman, keluarga demi Alloh, demi Nabi. Modal mereka cuma IMAN, hanya PERCAYA. Coba saja Nabi cerita tentang Isra' Miraj ke generasi jaman sekarang. Mungkin gak ada sama sekali yang percaya sama Nabi dan menganggap Nabi gila. Menganggap diri sendiri sudah hebat dan semuanya terjadi karena kehebatan manusia.

Jadi sebenarnya seberapa besar iman kita? Mungkin kita hanya Percaya/Iman karena kita adalah keturunan dari orang-orang beragama Islam. Seandainya kita berada di situasi dulu seperti Para Sahabat Nabi, hati kita yang lemah nan egois ini pasti tidak akan percaya. Aku merasa betapa cetek imanku. Rasanya lupa kecanggihan dan keberuntungan saat ini pun karena perjuangan-perjuangan mereka jaman dulu. Rasanya lupa bahwa Allah, sang Goib yang membuat hari kita menjadi lancar. Rasanya lupa bahwa kegiatan-kegiatan yang kita lakukan semua karena adanya hembusan napas ritmis yang masih diijinkan oleh Allah. 

Subhanalloh sekali sahabat-sahabat jaman dulu. Semoga aku, keluarga, keturunanku, mukmin dan mukiminat bisa bersama mereka di surga kelak. Aaamiin

Cerita Koas : CereBellum CereSudah

Dulu pas preklinik, blok Neurologi itu bisa dibilang yang paling susahlah. Anatominya njlimet banget. Hal yang sekecil saraf aja diurusin. Itu kenapa menurutku Dokter Saraf itu Dokter yang paling pintar. Tapiiii kalo di Koas katanya Stase Neuro itu salah 1 yang paling enak. Dan itu benar, Bung.

Alasan kenapa Neuro enak adalah, pertama, Residennya selow, baik-baik dan ngajarin banget. Mereka seperti sudah terpatri bahwa tiap berinteraksi dengan Koas harus ada yang diajarin. Salah seorang Residen pernah bilang gini pas ada pasien IGD "Bentar ya diskusinya, tunggu urusan berkas-berkasnya selesai". Tuh kan kayak emang wajib banget ngajarin dek koasnya. Residen-residen sering juga memancing bertanya materi ke koas apalagi kalo koasnya pendiam kayak saya. 

Pengalaman IGD Neuro pertamaku adalah dengan Res Neuro tercharming, dr. E (cewek kok, cewek). Cantik, baik, pintar. Asli perfect. Doi pas periksa pasien sambil jelasin ke koas tentang interpretasi hasilnya yang mana jarang terjadi pada stase2ku sebelumnya. Terus doi dengan baik gitu nanyain kita tentang materi neuro yang kalo aku gak bisa jawab/salah jawabnya doi bakal ketawa anggun gitu sambil bilang "belajar lagi ya". *meleleh* 

 Alasan kedua, peraturannya gak ketat dan gak memberatkan. Ada IR-IR (Indonesia raya-istilah koas untuk sesuatu yang udah pasti itu modelnya, cara jawabnya, strukturnya atau dll) yang memang harus ditaati tapi ya selow-selow aja tuh. Residennya juga gak DKT (Daya Kongkon Tinggi). Bahkan Jaga Neuro itu menyenangkan walaupun harus gak pulang. Senang gitu bawaannya gak ketakutan dan kemerungsung kayak stase sebelah yang kotor bgt (Kotor : istilah koas kalo pasien banyak). Di Neuro kalo ada pasien yaudah sambil belajar. Gak ada pasien ya Tidur di Kamko (Kamar Koas).

Alasan ketiga, tugas-tugas di Neuro juga gak banyak. Cuma ada Mini Cx (Kontroversi penulisan: Mini Ceex, Mini Cex), yaitu memeriksa status neurologis pasien yang disaksikan Staff (dokter spesialis) neuro dan Preskas (Presentasi Kasus) yang juga dinilai oleh 1 staff. Setelah itu ada ujian besar yg terdiri dari Pilihan ganda dan OSCE. Simpel kan. 

Selain itu, ilmu di Neuro itu kayak pas banget sama waktunya cuma 4 minggu. Yang kompetensi Dokter Umum ya gak banyak gak kayak Interna yang ilmunya banyak banget bahkan 8 minggu aja masih jauh dari kata menguasai.

Kemudian, ada beberapa hal yang aku pelajari di Stase Neuro.

Satu, PENTING bgt ngejelasin ke pasien tentang sakit yang dialami pasien sekarang itu apa, bagaimana tatalaksananya, bagaimana prognosisnya. Residen-Residen Neuro sangat mencontohkan itu dan cara mereka melakukannya ke pasien itu Keren banget. Sopan, jelasin dengan bahasa awam, singkat dan padat tapi cukup kemudian bertanya "Ada yang ingin ditanyakan?" Astagaaaa teladan banget. Seperti itulah dulu kita diajarkan di preklinik dan mereka adalah pembuktian itu yang justru jarang dilakukan oleh dokter-dokter jaman sekarang. Banyak res atau staf yang cuma periksa dan kemudian hanya bilang kalo pasien perlu rawat inap. Tapi di Neuro mereka seperti udah turun temurun harus baik gitu bahkan Res terjutek pun begitu lho.

Kedua, stase Neuro itu rada pasiennya sering api-api (urgent, gawat, emergency). Jaga Malam pertamaku, ada pasien Code Blue yang butuh alat bantuan napas. Aku pun harus mem-Bagging pasien kurang lebih 3,5 jam! Itu encok banget. Belum 5 menit, tanganku udah kecapekan, ketauan kan kalo aku lemah. Sukurnya bergantian dengan teman koasku yang satunya juga jaga denganku. Tapi tetap ajaaaa. Ada nilai yg dapat diambil tapi dari mem-Bagging : 1) Bagging adalah olahraga tangan yang baik, 2) Betapa dekat jarak kematian pasien itu  dengan hembusan oksigen dari ambubag yang aku pencet. Aku tersadar betapa besar peran Dokter, Residen, Koas, Perawat, atau Tenaga Kesehatan lainnya terhadap keberlangsungan hidup pasien. Kalau saja aku berhenti memencet ambubag itu beberapa kali, pasien bisa langsung tidak bernyawa!

Jujur aku kaget, baru pertama kali Jaga sudah dapat pasien yang gak sadar dan butuh alat bantu napas kayak gitu. Ditambah lagi pasien itu baru tadi sore berteriak-teriak minta minum saat Residen bangsal dan koas mutar-mutar mapping pasien. Baru magribnya aku mengukur Tanda Vitalnya. Kenapa tiba-tiba jam setengah 10 malam pasien tiba-tiba udah gawat? 

Perasaanku campur aduk tuh. Aku berpikir jangan-jangan aku Koas pembawa Kematian seperti Conan. Miris liat si Ibu yang baru berusia 35 tahun tergeletak benar-benar sekarat. Semuda itu. Ditambah lagi setelah ngobrol dengan keluarganya saat sambil bagging, pasien memiliki 1 anak perempuan yang masih SMP. Aku bisikkan lirih ke Ibunya supaya kuat, supaya bertahan, demi keluarga dan anaknya. Aku komat-kamit membaca berbagai dzikir untuk ibunya dan karena aku juga takut. Pertama kali jaga Neuro, pertama kali bagging, pertama kali dibebankan menjaga nyawa pasien.

Tapi sayang, kegiatan mem-Baggingku sudah diminta untuk berhenti oleh Res nya sekitar jam 1 malam. Aku gak tau alasan pastinya yang aku tau saat itu sebagai koas Neuro baru adalah Reflex Kornea pasien sudah tidak ada. Mati Batang Otak something kata Resnya. Sejenak setelah aku berhenti bagging, Respiratory Rate pasien turun, turun, turun, turun sampe 0. Pasien sudah tidak bernafas. Sejenak kemudian tubuh pasien biru. Aku speechless. Why? Hey, dia masih 35 tahun? Hey, bagaimana nasib anaknya? Hey, siapa tau dia masih punya kesempatan? Aku mberebes mili. Rasanya aku rela bagging sampai pagi pun asal dia bisa bangun lagi. 

Aku pun disuruh mengurusi surat Kematian oleh Resnya. 

Pertama kali jaga Neuro, pertama kali bagging, pertama kali dibebankan menjaga nyawa pasien, pertama kali mengurus Surat Kematian.

Banyak lagi ilmu dan pengalaman yang aku dapat di Stase Neuro. Pernah ada hal lucu waktu ada pasien Kejang yang masuk ruang Resusitasi di IGD. Saat Res Neuro sibuk mewawncarai keluarga pasien, eeh seorang Koas Anestesi (yang markasnya memang di Ruang Resus) sibuk membunuh nyamuk dengan raket nyamuk. Yu know lah gimana bunyi raket nyamuk. Res Neuro langsung clinguk nyari sumber bunyi dan kemudian bilang "Dek nanti dulu ya nyari nyamuknya, ini pasiennya rentan kejang lagi". Akhirnya Koas Anes pun rela digigit nyamuk dulu.  

Ada juga teman koas yang nyinari mata pasien bukannya pake penlight malah pake senter yang cahaya putihnya terang banget, luas dan gak fokus. Kan kasian banget pasiennya. Kelakuan koas ini memang ada-ada aja.

Atau ada juga untuk pertama kalinya selama jadi koas aku merasa benar-benar di pukili (dimanfaatin, dizolimi, dikerjai) oleh sesama teman koas yang gak bangun pas tengah malam harus KUVS. Akhirnya aku keteteran ambil bagian dia. Ah ceritanya panjang. Kehidupan koas memang buas dan liar seperti di hutan 

Aku akan merindukan stase Neuro ini. Res-resnya, palu dan penlightnya, Anggrek 2 (markas Saraf), pasien-pasiennya yang baik padahal sudah sering berulang kali diperiksa oleh staff, res dan koas yang berbeda-beda. 

Terima kasih Neurologi. 

Rabu, 05 September 2018

Bicara Sensitif

Pernahkah kamu merasa mellow banget?

Pernahkah kamu merasa sangat bosan? Merasa hidupmu sangat monoton?

Pernahkah kamu terasa malas mau melakukan apa saja? seperti tidak ada gairah bahkan untuk melakukan hobimu.

Pernahkah kemudian kamu merasa kenapa kamu gak begini atau begitu? kenapa dirimu begini dan begitu? seandainya kamu begini dan begitu?

Kemudian lagi kamu merasa sangat sensitif dengan kesalahan-kesalahan kecil, sangat tersulut emosi dengan kesulitan-kesulitan biasa.

Kemudian lagi kamu mulai menyalahkan orang lain.

Kemudian lagi kamu mulai menyalahkan dan menyesali dirimu.

Kemudian lagi kamu akan merasa (sedikit) menyesali beberapa hal dalam hidupmu.

Kemudian lagi kamu merasa dirimu tidak worth it.

Kemudian lagi kamu merasa kamu sendiri. Tidak ada yang mengerti.

Pernahkah?
Aku pernah, cukup sering belakangan ini. Kadang ada pemicunya, kadang tak ada.

Kadang kamu capek dengan rutinitas dan kesibukan. Tapi ketika longgarpun kamu bingung harus apa.

Kamu ingin melakukan sesuatu yang baru, tapi kamu juga tak bersemangat untuk memulai.

Gak enaklah pokoknya.

So what is this? Penyakit? Sindrom? atau hanya sekedar Sindrom PreMenstruasi? Rasanya juga tidak sesimpel itu. Aku bisa sangat emosional dan sedih kalo lagi "kumat". I mean, aku tidak sedang dalam permasalahan besar, hidupku juga alhamdulillah banget tapi kenapa aku malah begini?

Rasanya juga tidak ada yang mengerti, even my Mom. Orang mungkin bakal bilang alay atau malah ngejoke. I mean, hey aku gak selalu ceria. Aku juga bs mellow. Apa kalian gak pernah mellow? Mellow tanpa alasan spesifik. Ya,mungkin memang aku saja.

 Hah miris bukan, kita sendiri, manusia, saja tidak mengerti apa yg di mau oleh diri ini. Cuma Alloh, Tuhan kita yang tau. Tapi sayangnya, kadang (mungkin sering) aku tidak bisa menangkap apa maunya Alloh, Apa jawaban Alloh terhadap pertanyaan-pertanyaanku.

Apa mungkin imanku lagi turun-turunnya?



Yang Dipikirkan Sahabat Jomblo Setiap Kita Cerita Kisah Cinta

 Warning: tulisan ini tidak sengaja aku temukan di buku catatanku. Aku juga gak tau ini jaman aku SMA atau Kuliah. Jujur saja aku juga kaget...