Jumat, 28 Desember 2018

Cerita Koas : Behind the Story

It's not easy. At all.

Ini bukan saja tentang Koas tapi lingkungan disekitarnya, tumbuh dewasa bersamanya.

Di awal masuk Koas saja aku sudah berpikir "Aku rasa aku gak akan menganjurkan anakku jadi Dokter". Because it's not easy.

Aku ibarat gelas kaca yang bagus dan dijaga-jaga tapi gampang pecah sewaktu-waktu.
Baru tergores saja susah untuk diperbaiki.

Dengan anankastikku, aku semakin berkurang dan berkurang dalam hal mempercayai orang lain. Aku gak parcaya orang lain. Even my family.

Rasanya semakin merasa sendiri dan sendiri. No body really cares.

Situasi, keadaaan dan orang-orang sekitarmu somehow (walaupun tak langsung) menunjukkan kalo kamu gak worth it, kamu jelek, kamu bodoh, kamu useless, kamu kampungan, kamu annoying, kamu gak terkenal, kamu bukan anak siapa-siapa, kamu gak kaya daaaan lainnya. Begitulah standar-standar manusia pada umumnya. Dan sayangnya kamu minoritas.

Sangat gak enak rasanya jalan bersama orang yang gak sejalan dengan kamu.

Bete banget rasanya ketika kamu sudah berusaha semaksimal mungkin tapi tidak dihargai.

Jengkel rasanya kamu gampang sekali dilupakan.

Rasanya kegelapan perlahan merasuk merenggut kebahagiaanku.

ini dan itu

semuanya kecil awalnya. tapi bertambah bertambah bertambah dan numpuk, sesak. Sampai akhirnya meledak dan pecah. Tumpah isi gelas kaca tadi.

It's just not easy kawan. at all.

Rabu, 07 November 2018

Era Hoax, Era Ham, Era Julid

Aku yang anak kelahiran 90an aja ngerasa banget perbedaan hidup jaman dulu dan sekarang. Cepat sekali masa berubah. Teknologi makin canggih, budaya dan kebiasaan juga berubah.

Aku yg orangnya old fashioned agak risih ya dengan perubahan sekarang. Banyak banget yang berubah dari hal yang kita gak notice karena dianggap sepele karena udah umum sampe yang hal-hal yang vital.

HP dengan segala kecanggihannya banyak sudah merubah orang-orang. Keluarga yang dulunya dekat dan waktu dihabiskan bersama, sekarang masing-masing sibuk nonton hp nya. Dulu, 1 tv di ruang tengah walaupun gak terlalu suka acaranya ya ikut aja nonton karena demi kumpul bareng, sekarang karena ada kesenangan lain (baca : HP) mana ada yang tersisa di ruang tengah untuk nonton TV.

Dulu kalo makan bareng teman-teman ya pasti saling ngobrol sambil nunggu pesanan datang. Sekarang, semua main hp masing2. Sampe pernah jengkel banget gara-gara ada seorang teman yang aku ajak ngobrol pas makan bareng, eh dia gak dengar dan gak ngeh aku ajak ngobrol saking serius dengan hpnya. Kadang, kalo makan bareng rame-rame gitu, aku sendiri yang gak pegang hp, aku liatin semua temanku pegang hp masing-masing, aku bete, aku akhirnya ikutan pegang hp walaupun gak ada yang dibuka-buka juga.

Dulu waktu awal-awal punya aplikasi chat line, bete banget kalo orang yang aku chat gak balas chat alasan karena sibuk atau tenggelam atau mungkin aja karena dianggap gak terlalu penting. Sejak ada aplikasi chat gini rasanya semua orang bisa hubungi kita termasuk yang gak penting (baca: chat grup yang rame bgt) akhirnya sampe yang bisa jadi penting malah tenggelam. Tapi lama-lama karena kebiasaan digituin kali ya, aku jg mulai mengabaikan chat orang yang aku anggap gak penting, balasnya nanti-nanti, balas yang lain dulu, bukan membalas berdasarkan siapa yang ngechat dulu. Jadi dianggap biasa kan? padahal dulu itu gak biasa.

Dulu juga kalo ngechat di grup gak dibalas aku marah dan merasa orang-orang gak sopan apalagi kalo langsung ada yg ngechat dengan topik lain tanpa membalas punyaku dulu. Lama-lama aku terbiasa digituin dan jadi gituin orang lain. Dianggap biasa jg kan? padahal dulu aku anggap itu gak sopan.

Tanpa sadar adat atau kebiasaan baik yang kita punya itu mulai terkikis. Pelan-pelan sekali. Seringnya kita gak sadar.

itu hal sepele sih. Belum lagi hal lainnya.

Rasanya orang-orang sekarang juga makin individual. Sedikit-sedikit "itu urusan pribadi mereka", "itu hak mereka". Padahal dulu gak gitu banget deh. Misalnya kalo ada laki sama cewek belum nikah masuk kamar sampe nginap, ya didiamin aja juga. Urusan mereka.
Ada tetangga yang suka aniaya anaknya, kita juga diam aja. Urusan mereka.
Duh banyak deh contohnya.

Bukankah dulu jaman sekolah di Mapel Sosiologi selalu disebut-sebut suatu bentuk hukuman yang dari masyarakat sendiri berupa  pengucilan sejenisnya. Dulu orang-orang yang melanggar norma ya akan digunjinggkan atau dikucilkan. Iya emang sih menggunjing gak baik, dikucilkan juga tega amat. Tapi jika sudah dinasihati dan masih saja melanggar, pengucilan itu penting. Supaya jera. Supaya orang lain gak niru sikap yang salah tersebut. Kalo apa-apa serba "biarin", "urusan mereka" ya nanti semua orang juga bakal menyimpang karena gak merasa salah dan gak merasa dapat hukuman apa-apa.

Lagipula, bukannya tugas kita untuk mengingatkan?

Mengingatkan, diarahkan, diluruskan, dikembalikan ke yang seharusnya bukan malah "urusan mereka", "urusan mereka" terus.

Yang ada malah orang-orang seringnya menggunjingkan hal-hal yang jauh dan gak terlalu penting. Yang diurusin malah artis-artis yang cuma dilihat di akun medsos. Yang dijulidin malah misal tentang kejelekan artis karena gak pake makeup, pacarnya si artis yang gak terlalu ganteng/cantik,  julid hanya karena typo.

Apalagi ya sekarang Ya Alloh orang-orang pada gampangnya ngomong "tolol", "goblok", "idiot" atau nyebut-nyebut nama binatang ke orang lain hanya karena komenan polos orang lain. Yang memang gak ngerti dibilang tolol, yang berpendapat juga langsung di sebut 'an****g'. Kenapa gak jelasin baik-baik aja. Kenapa harus senyolot itu. Kenapa jaman sekarang sering sekali orang-orang ngomong sadis begitu dengan gampang dan santainya. Dan lagi, begituan udah dianggap biasa. See, semakin banyak yang dianggap lumrah.

Aku jadi mikir, katanya kalo orang sensitif itu artinya dia kurang jauh mainnya, kurang banyak temannya. Bisa jadi. Aku akui itu benar. Tapi gak selamanya benar juga. Bisa jadi kebanyakan orang sudah menganggap "biasa" tentang hal-hal yang dianggap "sensitif" oleh orang yang yg kurang jauh mainnya itu.

Udah gitu yang nyolot-nyolot itu juga belum tentu bener. Semua mau menangnya sendiri. Semuanya berteori begini begitu padahal belum tentu bener. Sampe aku juga bingung mana yang benar di dunia ini jaman sekarang. Sulit sekali mempercayai media terutama. Media sekarang rasanya terlalu gampang memvonis, tidak melihat dari 2 sisi, tidak mencari fakta tapi mencari popularitas.Sudah gitu hoax dimana-mana. Media berita terkenalpun bisa hoax. Kebenaran rasanya blur sekali saat ini. 

Banyak informasi-informasi yang ditambah-tambahi, dibumbui, dimanipulasi, menggiring publik ke suatu kesimpulan tertentu. I dont know. Jujur aku bingung. Mana lagi jaman sekarang rentan banget Sara. Apa-apa dikaitin agama padahal aslinya gak ada hubungannya dengan agama. agama dibawa-bawa jadi bahan lucuan padahal jatuhnya juga gak lucu. lalu orang-orang jadi berpihak sana sini, berteori begini dan begitu. Padahal komen-komen atau debat-debat masalah agama itu harus hati-hati banget lho. Rentan sekali. Satu debatan atau teori yang kita ungkapkan dan misalnya ternyata itu salah di Mata Alloh, berdosalah kita apalagi postingan/cuitan kita itu dilihat oleh followers kita, diretweet juga oleh mereka, berlipat-lipatlah dosa kita. Alangkah baiknya sebarkan kebaikan saja, hal-hal yang meragukan dan belum pasti kebenarannya kita tinggalkan saja.

Apalagi sekarang banyak banget Muslim yang ikut berbagi/ngelike/retweet hal-hal negatif tentang Islam. Anggaplah misalnya pihak muslim memang salah, ya tapi gak usahlah ikut menggembar-gemborkan pake caption "really?" atau semacamnya. Toh selalu ada 2 sisi dari setiap cerita. Toh seperti yang aku bilang tadi, bisa jadi media yang mengadu domba. Toh kadang kesalahan/kenegatifan itu bukan berkaitan dengan agama, semua orang dengan agama berbeda bisa berada dalam posisi itu. I mean, janganlah kita yang muslim malah menambah-nambah citra jelek agama kita. Jangan sampe orang agama lain melihat bahwa orang muslim sendiri tidak percaya dan tidak suka dengan agamanya sendiri.

Seperti yang diajarkan Nabi, jika riskan sebaiknya diam. Jika mendapat info/berita, harus cek dan recek. Jika ingin mengkritik, lakukanlah perorangan jangan didepan publik.

Wallohualam Bis Showab.
Semoga diri ini dilindungi Alloh dan selalu berada di jalan yang benar.

Jumat, 21 September 2018

Salahkah Aku?

Untuk mereka yang selalu berpikir aku kompet, ambisius, negative thinkking atau sejenisnya

Aku hanya seseorang yang pikirannya jauh. Aku memikirkan apa yg harus ku lakukan besok, minggu depan bahkan tahun-tahun depan

Aku hanya seseorang yang tidak bisa hanya menunggu waktu besok untuk datang tanpa mempersiapkan yang terbaik hari ini untuk esok.

Aku hanya tipe orang yang "sakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian". Lalu salahkah aku jika aku ingin cepat selesai, supaya bisa santai kemudian?

Aku hanya seseorang yang tidak mau menyesal di akhir. Lalu salahkah aku kalau aku berusaha yang terbaik?

Aku hanya seseorang yang berprinsip "Prepare for the worst". Lalu salahkah aku kalo aku terlalu berencana tentang banyak hal dan mempersiapkan plan A,B,C dan seterusnya? Aku bukan negative thinking, hanya saja tidak segala yang kita inginkan dan rencanakan bakal terjadi. Aku pun punya prinsip "Always Hope for the Best"

Aku hanya seseorang yang memang kepo dan gampang penasaran. Lalu salahkah aku jika aku ingin tau lebih dari sekedar standar atau yang diwajibkan? Beside, rasa penasaranku bukan hanya pada ilmu atau pelajaran tapi hal-hal lainnya.

Aku hanya seseorang yang merasa "kerjakan apa-apa kalo bisa sebaik mungkin". Lalu masih salahkah aku? Aku kecewa jika tidak mendapat akhir yang baik, tapi aku jauh lebih kecewa jika aku mendapat akhir yang baik karena tidak berusaha melakukan yang terbaik.

Aku juga bukan orang yg benar-benar berorientasi pada 'hasil', aku tau betapa pentingnya sebuah 'proses'. 'Hasil' sesungguhnya hanya bonus dari 'proses' tadi.

Jadi maafkan aku jika aku kompet
maafkan aku jika aku ambisius
maafkan aku jika aku negative thinking
dan
maafkan aku karena tidak sesuai dengan ekspektasi dan prinsipmu

Sabtu, 08 September 2018

Cerita Koas : Jiwa-jiwa yang Tenang

Habis dari Interna terus masuk ke Jiwa itu rasanya kayak Hmmm hmmm hmmm nya Nissa Sabyan. Interna yang klinis bgt, penyakit bgt, science banget, eksak banget, dokter banget  ke Jiwa yang isinya main-main perasaan. Eet eet perasaan jangan dimainin kata nenek itu berbahaya heeeey ~~ *nyanyi* . Gak nyambung oke kita ganti paragraf

Jiwa itu justru kayak serba : belum dapat dijelaskan. Ya emang sih neurotransmitter dan lain-lain tapi tetap aja kenapa begitu itu kayak masih menjadi Misteri. Tapi justru itu aku sadar, bahwa gak segala sesuatu  itu bisa dijelaskan, gak segala sesuatu itu ada ilmunya. Sometimes ya emang terjadi aja. Kalo kata Ed Sheeran maybe just a part of a plan. Dengan begitu juga kamu percaya bahwa ada sesuatu dibalik itu semua. Ada hal-hal yang gak bisa dijangkau oleh ilmu manusia. Oke, terlalu dalam. Ganti paragraf.

Tak disangka Staff-staff a.k.a Dokter-dokter spesialis Jiwa pada ramah. Seperti yang sudah aku sebutkan di postingan sebelumnya, mereka selalu mau tau nama kita siapa, darimana, anak keberapa, kerja orangtua apa, asal darimana, khasnya daerah kita apa, artis dari daerah kita siapa, sampe jodoh-jodohin yang sesama daerahnya. Begitu aja, aku merasa dihargai (aku emang wanita sederhana ya).

Mungkin karena di jiwa itu penting banget ya memperhatikan perasaan pasien. Bahwa sakit itu bukan hanya disebabkan ada yang salah dari organnya tapi ada yg salah dari psikologisnya. Attitude penting banget dijiwa. Ahli ngomong juga penting banget disini. Bakat-bakat sering dicurhatin teman dan sering menasihati tentang masalah berkaitan hubungan dengan pacar walaupun sendirinya gak pernah pacaran, cocok banget disini.  Kalo interna senjatanya alat KUVS, disini senjatanya dari mulut kita aja.

Banyak hal-hal yang menurut kita biasa aja atau "ah gitu doang" itu ternyata belum tentu biasa aja buat orang lain. Kepala terbentur  biasa aja udah bisa sampe bikin perubahan perilaku. Putus cinta aja sampe bikin gangguan jiwa bertahun-tahun. Memang cinta itu berbahaya.  Ada yg gak ada pemicu-pemicu apa-apa eh kena aja.  Curious bgt sih tentang berbagai macam gangguan-gangguan yang bahkan bisa aneh banget. Yang paling bikin aku terkesan itu tentang Disocciative Identity Disorder/multiple personality disorder  dan fugue disiosiatif.   Bagaimana mungkin 1 orang bisa punya kepribadian yang jelas sangat berbeda, bisa mempengaruhi kepribadian yang lain tapi tapi aaah susah deh dijelasin. Gara-gara ini aku rela nonton film taun 1957 yang masih itam putih itu yang katanya based on true story. Keren banget sih gila aku gak nyesal nontonnya dan membuat diriku yang bego ini jadi lebih mengerti. Recommended lah judulnya The Three Faces of Eve.  Oiya selama di Jiwa ini aku banyak nonton film-film kejiwaan supaya lebih paham . Ehemz :p

Beruntungnya diriku adalah aku dan teman sekloter haji itu sempat dapat Stase RSJ.  Padahal nih udah 2 bulanan stase RSJ sempat diberhentikan mbuh lah urusan administrasi kebijakan manajemen begitu-begitu. Eh alhamdulillahnya tanpa diduga kita ujug-ujug minggu ke3 disuruh aja ke RSJ. Disitulah petualangan di mulai.

Ada berbagai macam pasien yang berlimpah dibanding poli dan bangsal di RSUD biasa. Cerita mereka berbeda-beda. Let me tell you some of them.

Mbak SI adalah pasien pertamaku yang bener-bener aku full wawancara sendiri. Dia masih 27 tahun. Dia gak merasa sakit. Sangat normal malah kelihatannya. Awalnya aku mikir kasian banget digabung dengan teman-teman lainnya yang kondisinya agak parah. Logat Mbaknya agak lain, ternyata dia sempat kerja di Malaysia jadi logatnya logat sana. Dia kooperatif, nyambung juga diajak bicara, katanya suka baca, buat puisi, nulis.  Disini nih pentingnya menggali lubang tutup lubang, lama-lama mulai ada anehnya. Waham kebesarannya muncul, katanya banyak yang suka sama dia. Lama-lama bilang juga kalo malam sering keluar keliling kampung untuk jagain kampung dari maling. Dan dia kelilingnya sendiri, setiap hari, jadi bukan suatu giliran ronda. Bipolar.

Setelah dikonfirmasi ke keluarga via telepon, ternyata mbaknya juga suka keluyuran, nyapu rumah sampai ke halaman-halaman kampungnya di sapu, marah-marah, suka berpakaian rapi kayak orang kerja padahal gak, berani sama keluarga dan lain-lain. Katanya mulai berubah sejak pulang dari Malaysia itu. Di Malaysia kenapa-kenapa juga gak tau.

Daan so sweetnya adalah di hari ketiga aku masuk kebangsalnya dia (selama 3 hari tetap masuk bangsal tsb untuk wawancara pasien lain tapi aku tetap menyapa Mbak SI), dia tiba-tiba "ini untuk kamu" sambil ngasih kertas kecil gitu. Ternyata itu sejenis puisi yang dibuat. Awwww. Padahal yang wawancara dia bukan cuma aku aja lho, tp yg dikasi aku doang. Thanks Mbak SI, semoga sehat terus ya baik fisik dan jiwa semoga kita bisa ketemu lagi di lain waktu.

Selama berinteraksi dengan pasien-pasien Jiwa, aku belajar 1 hal yang penting banget : KEBUTUHAN UNTUK DI DENGARKAN ITU TINGGI BANGET

Semua pasien-pasien bangsal di RSJ berebuatan pengen di wawancarai. Mereka ingin bercerita. Mereka ingin di dengarkan. Pasien-pasien Gangguan Jiwa bukan cuma butuh dikasih barang berharga, uang bulanan oleh anak-anak mereka, mereka juga ingin ditanyai kabar, ingin diajak bicara, ingin ada seseorang untuk berbagi cerita. Perasaan yang dipendam bisa banget bikin orang merasa sendiri, kemudian emosinya numpuk-numpuk dan bikin gangguan jiwa. Seorang keluarga pasien yang mengantarkan ibunya yang Skizofrenia bilang ke aku : "Ternyata ya Mbak, nyenangin hati orang tua itu bukan cuma memenuhi apa yang dibutuhkan, ngasih ini itu, tapi harus juga jaga hatinya, dengarin curhat-curhatnya, dan menjadi tempat pelariannya kalo ada masalah"

Aku juga terkesima dan tersadara saat seorang Res Jiwa Pin Biru (Kasta tertinggi Per-Residen-an) bilang : "Jangan bilang orang kena gangguan jiwa karena kurang bagus agamanya, kurang tebal imannya, jelek pengendalian emosinya, kurang berpendidikan dan lain-lain. Karena gangguan jiwa itu bisa mengenai siapa saja, orang alim/tidak, orang kaya/miskin, orang pintar/tidak, orang baik-baik/tidak". Ya, dulu aku sempat berfikir demikian seperti orang-orang kebanyakan tapi sekarang aku sadar semua, siapa saja, bisa terkena gangguan jiwa karena memang banyak faktor yang mempengaruhi. Jadi JANGAN JUDGE orang yang kena gangguan jiwa karena dia gak alim atau sebagainya.


Ada 1 hal lagi yang bikin aku terkesima. Seorang Dokter Laki-laki  Sp.KJ bilang di suatu bimbingan, "sebenarnya penyebaran agama lewat Nabi itu awalnya adalah suatu waham". Waham, suatu isi pikir/keyakinan yang tidak logis bagi orang-orang kebanyakan, sesuatu yang 100% dipercayai oleh yang punya waham, bersifat egosentris, sulit untuk dikoreksi oleh orang lain, dan hidup sesuai wahamnya. Misalnya Nabi Muhammad yang melakukan perjalanan Isra' Miraj. Nabi pergi ke langit ke7, naik Buroq (kendaraan tercepat di seluruh jagad), bertemu malaikat, bertemu Nabi-nabi lainnya, bertemu Alloh. Semuanya itu hanya Nabi Muhammad sendiri yang mengalami lalu diceritakan ke orang-orang.  Bagi orang-orang umum tentu itu sangat tidak logis dan mustahil. Kemudian dianggaplah Nabi Muhammad gila/waham tadi. 

Yang aku pikirkan dan salutkan adalah bagaimana mungkin pengikut-pengikut Nabi bisa percaya dengan cerita Nabi yang mustahil itu? cerita Nabi yang hanya Nabi sendiri yang mengalami? Bagaimana mungkin pengikut-pengikut Nabi bisa percaya padahal jelas-jelas Nabi sudah memenuhi 5 kriteria waham tadi? Bagaimana mereka bisa yakin bahwa Muhammad itu memang Nabi?

I mean, berarti Iman sahabat-sahabat Nabi saat itu memang tinggi sekali. Mereka tetap percaya pada Nabi walaupun sebenarnya kejadian Isra' Miraj tadi memang normalnya tidak masuk diakal. Mereka tidak kemudian ragu bahwa jangan-jangan Muhammad itu memang gila. Mereka percaya 100%. Mereka percaya pada Alloh, sesuatu yang gaib, sesuatu yang tak terlihat dengan mata. Mereka korbankan uang, waktu, tenaga, kampung halaman, keluarga demi Alloh, demi Nabi. Modal mereka cuma IMAN, hanya PERCAYA. Coba saja Nabi cerita tentang Isra' Miraj ke generasi jaman sekarang. Mungkin gak ada sama sekali yang percaya sama Nabi dan menganggap Nabi gila. Menganggap diri sendiri sudah hebat dan semuanya terjadi karena kehebatan manusia.

Jadi sebenarnya seberapa besar iman kita? Mungkin kita hanya Percaya/Iman karena kita adalah keturunan dari orang-orang beragama Islam. Seandainya kita berada di situasi dulu seperti Para Sahabat Nabi, hati kita yang lemah nan egois ini pasti tidak akan percaya. Aku merasa betapa cetek imanku. Rasanya lupa kecanggihan dan keberuntungan saat ini pun karena perjuangan-perjuangan mereka jaman dulu. Rasanya lupa bahwa Allah, sang Goib yang membuat hari kita menjadi lancar. Rasanya lupa bahwa kegiatan-kegiatan yang kita lakukan semua karena adanya hembusan napas ritmis yang masih diijinkan oleh Allah. 

Subhanalloh sekali sahabat-sahabat jaman dulu. Semoga aku, keluarga, keturunanku, mukmin dan mukiminat bisa bersama mereka di surga kelak. Aaamiin

Cerita Koas : CereBellum CereSudah

Dulu pas preklinik, blok Neurologi itu bisa dibilang yang paling susahlah. Anatominya njlimet banget. Hal yang sekecil saraf aja diurusin. Itu kenapa menurutku Dokter Saraf itu Dokter yang paling pintar. Tapiiii kalo di Koas katanya Stase Neuro itu salah 1 yang paling enak. Dan itu benar, Bung.

Alasan kenapa Neuro enak adalah, pertama, Residennya selow, baik-baik dan ngajarin banget. Mereka seperti sudah terpatri bahwa tiap berinteraksi dengan Koas harus ada yang diajarin. Salah seorang Residen pernah bilang gini pas ada pasien IGD "Bentar ya diskusinya, tunggu urusan berkas-berkasnya selesai". Tuh kan kayak emang wajib banget ngajarin dek koasnya. Residen-residen sering juga memancing bertanya materi ke koas apalagi kalo koasnya pendiam kayak saya. 

Pengalaman IGD Neuro pertamaku adalah dengan Res Neuro tercharming, dr. E (cewek kok, cewek). Cantik, baik, pintar. Asli perfect. Doi pas periksa pasien sambil jelasin ke koas tentang interpretasi hasilnya yang mana jarang terjadi pada stase2ku sebelumnya. Terus doi dengan baik gitu nanyain kita tentang materi neuro yang kalo aku gak bisa jawab/salah jawabnya doi bakal ketawa anggun gitu sambil bilang "belajar lagi ya". *meleleh* 

 Alasan kedua, peraturannya gak ketat dan gak memberatkan. Ada IR-IR (Indonesia raya-istilah koas untuk sesuatu yang udah pasti itu modelnya, cara jawabnya, strukturnya atau dll) yang memang harus ditaati tapi ya selow-selow aja tuh. Residennya juga gak DKT (Daya Kongkon Tinggi). Bahkan Jaga Neuro itu menyenangkan walaupun harus gak pulang. Senang gitu bawaannya gak ketakutan dan kemerungsung kayak stase sebelah yang kotor bgt (Kotor : istilah koas kalo pasien banyak). Di Neuro kalo ada pasien yaudah sambil belajar. Gak ada pasien ya Tidur di Kamko (Kamar Koas).

Alasan ketiga, tugas-tugas di Neuro juga gak banyak. Cuma ada Mini Cx (Kontroversi penulisan: Mini Ceex, Mini Cex), yaitu memeriksa status neurologis pasien yang disaksikan Staff (dokter spesialis) neuro dan Preskas (Presentasi Kasus) yang juga dinilai oleh 1 staff. Setelah itu ada ujian besar yg terdiri dari Pilihan ganda dan OSCE. Simpel kan. 

Selain itu, ilmu di Neuro itu kayak pas banget sama waktunya cuma 4 minggu. Yang kompetensi Dokter Umum ya gak banyak gak kayak Interna yang ilmunya banyak banget bahkan 8 minggu aja masih jauh dari kata menguasai.

Kemudian, ada beberapa hal yang aku pelajari di Stase Neuro.

Satu, PENTING bgt ngejelasin ke pasien tentang sakit yang dialami pasien sekarang itu apa, bagaimana tatalaksananya, bagaimana prognosisnya. Residen-Residen Neuro sangat mencontohkan itu dan cara mereka melakukannya ke pasien itu Keren banget. Sopan, jelasin dengan bahasa awam, singkat dan padat tapi cukup kemudian bertanya "Ada yang ingin ditanyakan?" Astagaaaa teladan banget. Seperti itulah dulu kita diajarkan di preklinik dan mereka adalah pembuktian itu yang justru jarang dilakukan oleh dokter-dokter jaman sekarang. Banyak res atau staf yang cuma periksa dan kemudian hanya bilang kalo pasien perlu rawat inap. Tapi di Neuro mereka seperti udah turun temurun harus baik gitu bahkan Res terjutek pun begitu lho.

Kedua, stase Neuro itu rada pasiennya sering api-api (urgent, gawat, emergency). Jaga Malam pertamaku, ada pasien Code Blue yang butuh alat bantuan napas. Aku pun harus mem-Bagging pasien kurang lebih 3,5 jam! Itu encok banget. Belum 5 menit, tanganku udah kecapekan, ketauan kan kalo aku lemah. Sukurnya bergantian dengan teman koasku yang satunya juga jaga denganku. Tapi tetap ajaaaa. Ada nilai yg dapat diambil tapi dari mem-Bagging : 1) Bagging adalah olahraga tangan yang baik, 2) Betapa dekat jarak kematian pasien itu  dengan hembusan oksigen dari ambubag yang aku pencet. Aku tersadar betapa besar peran Dokter, Residen, Koas, Perawat, atau Tenaga Kesehatan lainnya terhadap keberlangsungan hidup pasien. Kalau saja aku berhenti memencet ambubag itu beberapa kali, pasien bisa langsung tidak bernyawa!

Jujur aku kaget, baru pertama kali Jaga sudah dapat pasien yang gak sadar dan butuh alat bantu napas kayak gitu. Ditambah lagi pasien itu baru tadi sore berteriak-teriak minta minum saat Residen bangsal dan koas mutar-mutar mapping pasien. Baru magribnya aku mengukur Tanda Vitalnya. Kenapa tiba-tiba jam setengah 10 malam pasien tiba-tiba udah gawat? 

Perasaanku campur aduk tuh. Aku berpikir jangan-jangan aku Koas pembawa Kematian seperti Conan. Miris liat si Ibu yang baru berusia 35 tahun tergeletak benar-benar sekarat. Semuda itu. Ditambah lagi setelah ngobrol dengan keluarganya saat sambil bagging, pasien memiliki 1 anak perempuan yang masih SMP. Aku bisikkan lirih ke Ibunya supaya kuat, supaya bertahan, demi keluarga dan anaknya. Aku komat-kamit membaca berbagai dzikir untuk ibunya dan karena aku juga takut. Pertama kali jaga Neuro, pertama kali bagging, pertama kali dibebankan menjaga nyawa pasien.

Tapi sayang, kegiatan mem-Baggingku sudah diminta untuk berhenti oleh Res nya sekitar jam 1 malam. Aku gak tau alasan pastinya yang aku tau saat itu sebagai koas Neuro baru adalah Reflex Kornea pasien sudah tidak ada. Mati Batang Otak something kata Resnya. Sejenak setelah aku berhenti bagging, Respiratory Rate pasien turun, turun, turun, turun sampe 0. Pasien sudah tidak bernafas. Sejenak kemudian tubuh pasien biru. Aku speechless. Why? Hey, dia masih 35 tahun? Hey, bagaimana nasib anaknya? Hey, siapa tau dia masih punya kesempatan? Aku mberebes mili. Rasanya aku rela bagging sampai pagi pun asal dia bisa bangun lagi. 

Aku pun disuruh mengurusi surat Kematian oleh Resnya. 

Pertama kali jaga Neuro, pertama kali bagging, pertama kali dibebankan menjaga nyawa pasien, pertama kali mengurus Surat Kematian.

Banyak lagi ilmu dan pengalaman yang aku dapat di Stase Neuro. Pernah ada hal lucu waktu ada pasien Kejang yang masuk ruang Resusitasi di IGD. Saat Res Neuro sibuk mewawncarai keluarga pasien, eeh seorang Koas Anestesi (yang markasnya memang di Ruang Resus) sibuk membunuh nyamuk dengan raket nyamuk. Yu know lah gimana bunyi raket nyamuk. Res Neuro langsung clinguk nyari sumber bunyi dan kemudian bilang "Dek nanti dulu ya nyari nyamuknya, ini pasiennya rentan kejang lagi". Akhirnya Koas Anes pun rela digigit nyamuk dulu.  

Ada juga teman koas yang nyinari mata pasien bukannya pake penlight malah pake senter yang cahaya putihnya terang banget, luas dan gak fokus. Kan kasian banget pasiennya. Kelakuan koas ini memang ada-ada aja.

Atau ada juga untuk pertama kalinya selama jadi koas aku merasa benar-benar di pukili (dimanfaatin, dizolimi, dikerjai) oleh sesama teman koas yang gak bangun pas tengah malam harus KUVS. Akhirnya aku keteteran ambil bagian dia. Ah ceritanya panjang. Kehidupan koas memang buas dan liar seperti di hutan 

Aku akan merindukan stase Neuro ini. Res-resnya, palu dan penlightnya, Anggrek 2 (markas Saraf), pasien-pasiennya yang baik padahal sudah sering berulang kali diperiksa oleh staff, res dan koas yang berbeda-beda. 

Terima kasih Neurologi. 

Rabu, 05 September 2018

Bicara Sensitif

Pernahkah kamu merasa mellow banget?

Pernahkah kamu merasa sangat bosan? Merasa hidupmu sangat monoton?

Pernahkah kamu terasa malas mau melakukan apa saja? seperti tidak ada gairah bahkan untuk melakukan hobimu.

Pernahkah kemudian kamu merasa kenapa kamu gak begini atau begitu? kenapa dirimu begini dan begitu? seandainya kamu begini dan begitu?

Kemudian lagi kamu merasa sangat sensitif dengan kesalahan-kesalahan kecil, sangat tersulut emosi dengan kesulitan-kesulitan biasa.

Kemudian lagi kamu mulai menyalahkan orang lain.

Kemudian lagi kamu mulai menyalahkan dan menyesali dirimu.

Kemudian lagi kamu akan merasa (sedikit) menyesali beberapa hal dalam hidupmu.

Kemudian lagi kamu merasa dirimu tidak worth it.

Kemudian lagi kamu merasa kamu sendiri. Tidak ada yang mengerti.

Pernahkah?
Aku pernah, cukup sering belakangan ini. Kadang ada pemicunya, kadang tak ada.

Kadang kamu capek dengan rutinitas dan kesibukan. Tapi ketika longgarpun kamu bingung harus apa.

Kamu ingin melakukan sesuatu yang baru, tapi kamu juga tak bersemangat untuk memulai.

Gak enaklah pokoknya.

So what is this? Penyakit? Sindrom? atau hanya sekedar Sindrom PreMenstruasi? Rasanya juga tidak sesimpel itu. Aku bisa sangat emosional dan sedih kalo lagi "kumat". I mean, aku tidak sedang dalam permasalahan besar, hidupku juga alhamdulillah banget tapi kenapa aku malah begini?

Rasanya juga tidak ada yang mengerti, even my Mom. Orang mungkin bakal bilang alay atau malah ngejoke. I mean, hey aku gak selalu ceria. Aku juga bs mellow. Apa kalian gak pernah mellow? Mellow tanpa alasan spesifik. Ya,mungkin memang aku saja.

 Hah miris bukan, kita sendiri, manusia, saja tidak mengerti apa yg di mau oleh diri ini. Cuma Alloh, Tuhan kita yang tau. Tapi sayangnya, kadang (mungkin sering) aku tidak bisa menangkap apa maunya Alloh, Apa jawaban Alloh terhadap pertanyaan-pertanyaanku.

Apa mungkin imanku lagi turun-turunnya?



Sabtu, 11 Agustus 2018

Bertumbuh

Hari ini aku berkumpul dengan teman jaman SMAku yang jarang-jarang aku temui walaupun kita kuliah di kota yang sama. Aku nyeletuk tiba-tiba "Gak nyangka ya kita udah dewasa. Udah 22" . Mereka mendesah berjamaah bilang gak pengen tua. 

Jujur saja aku sering terkesima bahwa betapa sudah dewasanya aku. Betapa aku udah bertumbuh bertahun-tahun. Aku sekarang 22 men. Siapa sangka aku akhirnya bisa dengan senangnya mengucapkan "I dont know about you but I'm feeling 22"-nya Taylor Swift setelah dari jaman belasan tahun udah mulai menyanyikannya. Gila udah hampir 1/4 abad aku hidup di dunia!

Aku kecil yang dulu gak bisa lepas dari pangkuan Umi disaat anak-anak lain berkeliaran bermain, sekarang udah dewasa, udah hidup sendiri di kota orang dan lepas dari induknya. Aku yang dulu apa-apa serba Umi dan Umi bukan karena aku manja, tapi lebih karena Umiku yang sifatnya sangat sayang anak, sekarang serba Aku Aku karena apa-apa harus sendiri. Bahkan tinggal sendiri. Ya sendiri, sendiri di rumah tanpa teman kos. Dulu aku selalu jadi anak rumahan yang sering makan dan ngumpul dengan keluarga, sekarang makan dan kemanapun sendiri. Aku yang dulu imut, sekarang pun masih tetap imut bahkan melimpah imut :p

Setiap naik motor pergi koas (hemz koas...) dengan kemeja batik dan rok lebar+ kacamata aku yakin orang-orang pasti memandang aku seseorang yang sudah dewasa dan bekerja apalagi ditambah mukaku yang lebih tua dari usia. Padahal aku belum kerja, padahal aku masih gadis yang jujur saja masih mencari jati diri. Oh Im just a girl trying to find a place in this world ~~.

Aku masih belum terbiasa dengan bekas lipstik di gelas minumku atau di sedotan. Aku masih belum bisa menata rumahku dengan benar. Aku masih belum bisa memasak dan belum benar-benar serius untuk mencoba memulai. Aku merasa aku bahwa ternyata aku egois kadang, terutama sejak koas (mungkin karena kompensasi melihat orang-orang yang terbiasa individual dan gak pedulian, jadinya ikut-ikut). Aku masih jauh dari kata DEWASA. 

Tapi aku pun memperhatikan banyak perubahan yang memang mau gak mau menunjukkan kalo aku, kita, bertumbuh. Bagaimana belakangan di telpon, Umiku selalu jadi orang yang curhat, bukan aku. Oh berarti ini giliranku untuk mendengar sebagai anak. Bagaimana kamu gak bisa banget bergantung sama orang lain. Bagaimana kamu ya harus lakukan sendiri jika orang-orang gak sama dengan kamu. Bagaimana aku terbiasa untuk sendiri, dalam banyak hal. 

Aku dulu berjanji pada diriku bahwa aku akan meng-capture tiap detail dari momen-momen hidupku agar indah saat dikenang, tapi aku lupa bahwa kenangan yang detail itu pula yang justru sangat menyakitkan. Tapi sekarang, setelah bertumbuh, aku rasa aku sudah bisa memilah mana yang harus aku capture secara detail dan menyimpannya di memori terdalam, mana yang harus pake perasaan, mana yang harus diredam. Aku sudah memahaminya lebih baik.

Aku dulu sering ngomel kenapa orang lain begini begitu, kenapa orang lain ngejudge aku, kenapa orang lain tidak sama sepertiku, kenapa orang lain bisa seegois/seindividual/secareless/segaksopan/ddl itu? Dulu aku sakit kalo dijahatin. Tapi sekarang, aku sudah ber-deal dengan hal semacam itu. Aku berusaha mengikuti arus air tanpa tenggelam di dalamnya, masih dalam batas yg dapat aku kendalikan. Mungkin hatiku sudah apa ya lebih keras atau sejenisnya?

Walau bagaimanapun rasanya aku belum ingin terburu-buru dewasa. Rasanya aku gak mau waktu beranjak. Aku gak mau kehidupan bertambah sulit. Aku rasanya belum siap memikul banyak tanggung jawab. Diri sendiri aja masih gak keurus. Aku masih ingat perkataan temanku SMP (SMP lho) kalo dia gak ingin besar dan dewasa. Waktu itu aku cuma "Heh? Ya gak bisalah. Nikmati aja", merasa temanku itu terlalu serius. Tapi sekarang aku merasakan apa yang dia rasa. 

But, aku juga gak mau terus begini karena itu artinya aku gak bisa punya kerja dan uang sendiri, artinya aku gak bisa segera membahagiakan orangtuaku. Saat ini, ini satu-satunya alasan aku dikembalikan dari alam mimpi, bahwa akugak bisa muda terus, aku harus tetap bertumbuh dan mendewasa.

Tapi aku berjanji dengan diriku. Tidak peduli seberapa jauh aku bertumbuh, seberapa banyak berkembangnya diriku, setua apapun aku : Aku akan tetap berusaha memiliki jiwa muda ini. Sifat antusias, memandang dunia dari mata anak kecil, selalu positif dan mempositifkan orang-orang negatif (?), humor yang receh (serius semakin receh kamu semakin gampang kamu bahagia),  sifat menertawakan diri sendiri dan pantang menyerah!

Karena menurutku, bukanlah USIA melainkan JIWALAH yang PENTING

Jumat, 13 Juli 2018

Cerita Koas : Anak Baru

Jadi inilah aku, manusia bumi berusia 21 tahun yang sudah 9 minggu menimba ilmu dibawah label "KOAS". Wih horor banget ya sebutan KOAS. Banyak sekali hal yang terjadi dan berubah sejak aku jadi koas. Dari yang paling simpel lah sekarang aku gak bisa lagi disebut anak kuliahan tapi gak bisa juga disebut kerja, profesi setengah-setengah itulah KOAS. Atau hal simpel seperti ibu Kantin yang manggil kamu "Dok" waktu pertama kali kamu ke kantin lalu kamu sedikit kaget dengan panggilan itu terus berniat mengoreksi si ibu tapi terus berpikir: Ya Udahlah Ya. Atau kamu yang akhirnya menghadapi pasien nyata dan beneran sakit lalu kamu sedikit deg-degan berpikir "Duh gimana ya cara perkenalkan diri? Koas atau Dokter Muda? Ibunya emang mau ya diperiksa sama koas? Ibunya emang percaya ya kalo yang meriksa koas?". Yap, pikiran-pikiran sedikit berlebihan sebagai orang baru. Atau nih ketika kamu stase luar kota dan kamu dipanggil "Sus" oleh pasien dan kamu sedikit kaget dan berniat mengoreksi si ibu tapi lagi-lagi kamu berpikir: Ya Udahlah Ya. Diapanggil Dokter segan, Susterpun tak mau. 

Layaknya pertanda gambaran kehidupan koas nantinya, H-1 aku masuk koas terjadi pemboman di Indonesia yang bikin heboh. Aku (dan mungkin teman2ku) seperti anak baru kayak jaman sd, smp, sma dan kuliah lagi tapi versi lebih bingung dan lebih panik karena shock dengan banyaknya peraturan dan banyaknya materi pdf yang diberikan Chief kita. Di hari-H aku KOAS terjadi lagi pemboman di Indonesia namun saking aku juga sibuk dan bingung menyesuaikan diri aku jadi kudet dan ketinggalan info pemboman itu. Sejak saat itu, jujur saja aku makin kudet dan makin gak gaul. 

Kegiatan koas yang sudah pasti banget adalah Nyiro, sejenis mengejar-ngejar/mengintil/mencari-cari  dokter/staf/residen. Jujur saja aku pikir nyiro ini bahasa Jawa ya. Aku penasaran sekali dari mana kata ini berasal. Ternyata di hari terakhir stase pertamaku (Interna) aku baru tau asal muasal kata ini. Mereka bilang, Nyiro dari kata Siro. Siro adalah anjingnya Shincan. Siro anjingnya Shincan memiliki sifat setia menunggu tuannya. Begitulah kita setia menunggu staf/residen. Agak gak nyambung sih ya (?). Terserah mereka deh.

Sebagai KOAS (iya dihuruf besar supaya horor gitu), kita harus siap di suruh-suruh, siap dimarah-marahi, siap di salah-salahkan, siap bercapek-capek ceria (ini posthink). Intinya kalo kata temanku : harus punya mental pembokat. Harus tahan banting. Maju terus pantang mundurlah. Walaupun kadang sudah siap akan digitu-gituin (gitu-gitu bgt bahasanya) tapi tetap dikenyataan itu gak semudah niat. Tetap aja kita ngomel kalo disuruh-suruh. Tetap aja nggunjing ke yang lain kalo ada yg gak sreg dengan kita. Dosa bgt ya Alloh. Kita sok merasa tinggi, merasa paling capek. Susah sekali bersifat menghamba demi ilmu itu. Fakta: apalagi yang udah lama jadi koasnya pasti pada males ngelakuin hal-hal yang dianggap tidak penting. 

FYI, Interna adalah stase pertamaku. Stase besar, 8 minggu. Ilmunya luas banget bagai samudra. Aku bagai perenang amatir yang terseok-seok di samudra itu. Mulai dari CKD, Sirosis, CHF, B20 a.k.a HIV, Hepatitis. Ternyata kawan, banyak sekali orang-orang yang mengidap penyakit-penyakit mematikan itu. Aku sampe gak nyangka. 

Aku juga belajar dan memperhatikan model-model keluarga penunggu pasien, ada yang sabar ikhlas lihat keluarganya kesakitan luar biasa sampe ada yang jerit-jerit minta mati aja.  Atau Ibu yang sabar sekali mengurus anaknya yang terkena B20 dan sudah terkulai lemas tidak bisa apa-apa. Atau keluarga yang perhatian dan sering bertanya seperti "Mbak ini kok jadi panas ya suhu badannya sejak tadi malam padahal sebelum-sebelumnya gak?", pertanyaan2 gini nih yang bikin koas "Waduh saya gak tau Bu" dalam hati tapi ditutupi dengan cara nanya-nanya tentang keluhannya tersebut dan diakhiri dengan "Hemm gitu ya Bu. nanti coba bilang ke Dokternya langsung aja ya Bu kalo dokternya Visit". 

Atau malah keluarga pasien yang gak pernah keliatan wujudnya. Atau anak pasien yang gak tau tentang keluhan ibunya dan jika ditanya akan noleh-noleh dan mengharap jawaban ke seorang lain yang bukan anggota keluarga tapi tau semua tentang si pasien yaitu Asisten Rumah Tangga mereka. Miris banget!

Pengalaman lain yang penting dan rasanya baru aku dapatkan sejak KOAS adalah berinteraksi dan berhubungan dengan berbagai jenis manusia, status, jabatan tapi bukan berbagai spesies sih sukurnya. Mulai dari yang paling dekat deh : temanmu. Definisi teman kita di koas adalah  teman yang seangkatan (2014) dan yang tidak seangkatan (dalam hal saat ini berarti kating 2013/2012). Kamu harus bisa berhubungan sama mereka, berkerjasama dengan mereka, berkelompok dgn mereka dan berkoasria bareng dengan mereka. Dan kawan itu gak gampang. The problem is setiap manusia itu sifatnya beda-beda. Yah sebenarnya klo dalam definisiku sih ada 2:  Teman yg Gak Asoy dan Teman yg Asoy (disini termasuk yg kategori sedang).

Teman Gak Asoy adalah teman yang gak sejalan denganku. Yang biasanya sering ilang (KOAS HANTU). Yang slow respon padahal lagi butuhnya luar biasa. Yang kalo kerja kelompok suka gak ngerjain atau milih kerjaan yang paling sedikit (sebut saja cover dan daftar isi). Yang suka egois tidak mempedulikan kepentingan kelompok. Yang tipe asal jadi (kenapa gitu lho gak berusaha yg terbaik selama itu bisa?) padahal teman yang lain sudah berusaha semaksimal mungkin.  Yang pukil (gak tau akar kata dari apa) yaitu yang suka manfaatin temannya. Biasanya yang kayak gini itu kating. Karena sudah tua, sudah lebih berpengalaman daaan sudah bosan koas jadinya deh kita yg dekting imut dipukilin karena masih polos. Intinya Teman Gak  Asoy itu teman-teman yang Pato-lah (akar kata Patologis).

Sudah banyak aku dengar keluhan, curhatan dan rintihan (segitunya) koas baru sepertiku yang ngomongin tentang teman-teman/kating mereka yang Pato. Wuih berbagai macam jenis dah ceritanya. Intinya satu : dimanfaatin dan dianiaya itu sakit gengs.  Kita bener-bener belajar gimana kita yang maunya cepat selesai harus terhalangi karena teman pada kayak mobil mogok sifatnya. Gimana kita yang mau tau lebih dianggap berlebihan dan "kenapa pula harus tau yang bukan kompetensi kita". Gimana kayaknya kamu sendiri yang antusias dan yang lain anggap kamu ambisius. Yang akhirnya pun aku jadi egois banget dan gak ngurusin orang lain. Mereka gak inisiatif ya terus ngapain aku yg nawarin? mereka sendiri hal yg harus tau mereka gak pengen tau ngapain aku ajak nyari sesuatu yg diluar kompetensi?

Sadisss...

Kalo teman Asoy itu ya teman yang sejalan sama kita, senasib sepenaggungan sama kita,yang saling membantu, saling dukung bahkan saling gunjing tentang teman yang jahat. Tapi kalo terlalu Fisio (akar kata Fisiologis) biasanya juga gak disuka. Begitulah manusia ya. Tega.

Selain itu kita juga berinteraksi dengan Staff a.k.a Dokter-dokter spesialisnya. Dokter juga banyak jenisnya. Ada yg galak, ada yang suka nanya-nanya mengintimidasi, ada yang ngajarin  banget, ada yang malaikat, ada yang hantu (karena jarang keliatan dan susah nyironya).

Ada yang kalo kita ngeliat beliau, fokusnya ke kacamatanya karena saking bagusnya. Ada yang kalo ketemu di jalan fokusnya ke sepatu high heelsnya. Ada juga yang pinter banget sampe mengaku hapal suatu textbook dar A-Z. Ada yang beneran ganteng dan baik hati persis karakter Dokter di pilem-pilem. Ada juga yang udah cantik, baik, tinggi, idaman banget.  Sejauh 8 minggu di Interna sih Dokter-dokternya pada baik dan gak macam-macam. Kalo ada yang susah pun tetap masih bisa dikejar dan masih bisa lulus kalo ujian.

Beda lagi rasanya selama baru 1 minggu di Jiwa a.k.a Psikiatri. Staffnya sebelum bimbingan pasti ngabsen nama sekaligus tanya arti namanya, asalnya darimana, apa yang khas dari daerah asal tersebut, anak ke berapa, tinggal di mana, gubernur daerah asalnya, artis daerah asalnya. Luar biasa. Sampai hapal tentang kehidupan teman lain saking diulang-ulang.

Belum lagi sama perawat dan residen. Tapi sejauh ini masih biasa saja. Mungkin gak begitu dekat dengan Residen Interna karena mereka sendiri sudah pusing sama tugasnya. Tapi kalo Jiwa? Ane juga tak mengerti.

Begitulah cerita gak penting nan panjang tentang awal-awal hidup sebagai KOAS. Masih banyak hal menantang lain yang menunggu di depan. Semangat !

Sabtu, 07 April 2018

A Quiet Place

Ini pertama kalinya aku nonton film di Bioskop sendiri. Sendiri. S-e-n-d-i-r-i (red: dengan nada lagu c-i-n-t-a. Gak bisa ya? kapok). SENDIRI! Oke, alay. Sebelum-sebelumnya itu aku gak pernah nonton sendiri. Pasti sama keluarga atau teman. Berhubung pada gak bisa + akunya yg juga mendadak ngajaknya hari ini (sebenarnya udah lama pengen cuma kemarin2 sibuk Pradik Koas. Yeay finally gue sebentar lg jd Dokter Muda), akhirnya aku putuskan nonton sendiri saja. Kapan lagi? Besok-besok belum tentu ada waktu karena saya artis yang sedang naik dau, sibuk.

Aku tuh tipe penonton film yang cerewet. Suka komen sana sini. Hal kecil juga aku komentarin walaupun bukan dengan kata-kata tapi cuma "eeemm", "aaah~", "heleh" dst. Mungkin temanku muak kali ya sebenarnya sama aku. Aku juga orangnya terbuka pada berbagai jenis genre film. Mau komedi, action, romance, thriller, barat, jepang, korea, indonesia asaaaal bisa cukup membuat aku tertarik untuk nonton. Nah itu dia susahnya. Banyak film yang kalo aku liat sekilas atau di skip2  ternyata kurang menarik, ya udah aku bakal gak nonton entah seterkenal apa. Padahal kadang sebuah film gak bisa dinilai hanya dengan skip-skip. Apalagi kalo trailernya gak meyakinkan atau sinopsisnya tidak menggugah, beeeh bye deh.

Tapi disisi lain aku bisa suka banget sama film sederhana yang mungkin bagi sebagian orang 'biasa sih', 'cheesy bgt' atau 'umum aja'. Entah deh aku juga bingung sama diriku sendiri. Aku orangnya susah terkesan tapi kalo udah suka, biar sesederhana apa aku bakal terkesan bgt.

Ok, jadi film pertama yang aku nonton di bioskop dalam keadaan sendiri adalah A Quiet Place. Aku tertarik pertama karena trailernya. Mendebarkan gitu dan misterius a.k.a gak mengungkapkan hampir seluruh cerita kayak trailer2 jaman sekarang. Kedua, sinopsisnya keren. Jarang bgt gitu lho ide  tentang suatu tempat/kehidupan yang gak boleh ada suara samsek, kalo bersuara akan diserang oleh "mereka" yang kita gak tau wujudnyadan aslinya bagaimana dalam trailer. Dan kekerenan &keunikan ide ini juga diakui oleh pemain sekaligus sutradaranya dalam suatu interview Ketiga, pemainnya. Emily Blunt brooh ditambah sama suaminya pula. Klo aku gak sotoy sih, ini film pertama mereka main bareng sbg suami istri. 

Teater 1, row A 15. Aku beri jarak 2 kursi dengan orang lain. Biar bebas. Ekspektasiku tinggi sebelum nonton. Aku takut kalo gak sesuai ekspektasi. Tapi ternyata........! Sesuai dan apik! Thrillernya terasa bingitzz. Aku sudah lama banget mencari film thriller yang bikin bener2 deg-degan akhirnyaaaaa... ini sama sekali bukan film horor yang mengandalkan ketegangannya pada backsound "Jeeeng"nya atau "Deeeng"nya. 

Aku sampe berkali-kali tutup telinga karena gak tahan apa yang akan terjadi. Seisi teater itu  diam semua, gak ribut karena ngikuti alur filmnya yang bener-bener diam. Suara seorang penonton buka bungkusan aja kedengaran banget. Aku juga gak tahan untuk teriak2 tapi ditahan (karena gak boleh ribut takut diserang sama "mereka" juga) bilang "Eeeh awas-awas" atau "Jangan astaga jangan nangis" atau "Astagfirullah!" berkali-kali. Aku juga gak bisa diam dikursi karena sensasi thrillernya.

Film ini hampir sebagian besar dialognya pake bahasa isyarat atau bisik-bisik tapi herannya tetap aja masih bisa dinikmati. Film ini juga memiliki awal yang kurang dijelaskan dan akhir yang sedikit menggantung. Tapi rasanya kita semua sudah cukup puas dan tidak merasa perlu mempertanyakan mengapa terjadi seperti itu atau apa yang terjadi di akhir. 

Luar biasalah! Gak nyesel nonton pilem ini di Bioskop. Hening mencekam dan nyaring menyesakkan. Beda deh kalo nonton cuma lewat lepi yang diganggu sama suara kipas angin berputar, terselingi karena pengen ambil minum atau buka hp dan suara lepi yang tidak mewakili mencekamnya suara-suara yang ada. 

Yaah mungkin lain kali aku perlu nonton bioskop sendiri lagi karena gak perlu ganggu teman disebelahku. Biar aku ribut-ribut sendiri.

Yaah mungkin Blog ini bisalah lain kali ditulisi review film menarik lainnya :) (padahal gak ngereview juga, cuma cerita gak jelas)

Sabtu, 24 Maret 2018

Alexitimia

Aku adalah bagian dari orang-orang di luar sana yang berpikiran "kenapa harus telpon kalo masih bisa sms/chat?"

Aku kurang terbiasa di telpon. Aku gak nyaman bicara lewat telpon (kecuali sama keluargaku). Aku merasa awkward ketika ngobrol di telpon. Aku seperti gak bisa menemukan topik atau bahan pembicaraan. Aku kadang mendengar gema suaraku sendiri di telpon which is jelek bgt, kayak anak kecil yang cerewet.

Aku lebih suka teks. Lebih leluasa nulis panjang lebar, ngomong sana sini atau kalo udah gak tau mau ngomong topik apa tinggal kirim stiker aja.

Bukan berarti aku gak suka jd orang yang di telpon. Aku suka! Karena aku merasa berarti aku cukup penting bagi mereka (terutama orang-orang yang aku gak nyangka akan nelpon). Aku bahkan bakal bilang di akhir telpon "terima kasih sudah nelpon" dengan gaya mirip Dinda di 5cm. I mean it! aku senang di telpon. merasa bahagia atau di"anggap" gitu. Aku cuma bingung harus ngomong apa.

Aku cuma bukanlah tipe orang yg nelpon duluan. Dan bakal jarang sekali kejadian dimana aku yang nelpon seseorang duluan, bahkan ke anggota keluargaku sendiri sampe-sampe aku di protes karena kurang peduli padahal aku tetap setiap saat ngirim puluhan teks ke mereka.

Karena itu juga aku merasa bahwa aku memang Alexitimia (gangguan psikologis yang dicirikan dengan ketidakmampuan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan secara verbal emosi dan perasaan yang dialami di dalam dirinya seperti orang lain). Of course gak sepenuhnya Alexitimia. Gak tau seberapa besar. Mungkin 30% alexitimia, atau mungkin lebih sedikit atau mungkin kurang sedikit.

Bukan hanya masalah telpon. 

Aku bahkan mikir setiap akan bicara ke seseorang (terutama orang yang gak terlalu dekat, tidak seumuran dan orang2 keren). Aku rangkai kata-kata sebelum ketemu orangnya. 'Oh nanti aku kalo ketemu ngomongnya gini-gitu dll'. Tapi pada akhirnya ketika ketemu, sebagian besar kata-kata yang aku sudah rangkai hanya berakhir di pikiranku, tidak mampu aku keluarkan. 

Kalo ada yang curhat ke aku (terutama hal sedih), aku kadang cuma diam, ngomong sepatah dua patah kata, motivasi dan sejenisnya padahal jauh di dalam hati aku pengen peluk orang itu dan bilang "Hey kamu kuat. Plis jangan sedih. Jangan nangis" atau "Hey kamu harus percaya kalo kamu bisa. Itu saja. Kamu harus yakin!" atau "Plis jangan pernah berpikiran kalo kamu sendiri. Kamu gak pernah sendiri". Dan berakhir pada aku yang gak melakukan semua itu.

Contoh aja ya, aku berkunjung ke tempat seseorang yang baru melahirkan. Di jalan aku sudah berpikir aku bakal ngomong "Selamat ya. Anaknya cantik. InsyaAllah dia nanti jadi anak solehah dan membanggakan orang tua. Jangan lelah ya Kak. Tetap strong! Capeknya Kakak itu berbalas surga",  tapi apa ujung-ujung aku cuma bilang "Selamat ya kak", "hemm cantik dia", "tetap kuat ya kak" dengan sgt awkward. Gak ada menyentuh-menyentuhnya.


Aku suka anak kecil. Tapi kadang (sering) aku juga gak bisa menangani mereka. Aku mau ngobrol, pura2 bego dan hidup seperti fantasinya mereka tapi gak, aku cuma berakhir pada nyubitin pipi mereka sambil senyum. Uuggh!


Sulit sekali mau merubah yang ada di pikiran jadi bentuk omongan. Itu kenapa aku suka teks/sms/tulisan. Rasanya tulisan itu mewakili perasaanku. Ketika aku gak bisa ngomong secara langsung, aku bisa menuliskannya dalam bentuk teks. Itu kenapa ketika seseorang ultah atau mencapai kesuksesan sesuatu, aku bakal nulis panjang lebar di chat atau surat atau sticky notes (bersama dengan hadiah tertentu). Isi pesannya bisa doa ini itu, curhat, harapan dll yang gak bisa aku bilang secara langsung. Bahkan menurutku (menurutku ya menurutku), seandainya seseorang mengerti aku, tulisan/sticky notes/suratnya itu jauh lebih berarti dari hadiahnya.


Walaupun begitu, aku belajar. Aku dulu gak pernah mau di peluk. Tapi sekarang aku selalu jadi yang memeluk. Entah kenapa aku sadar betapa pentingnya memeluk itu. Manfaatnya bahkan berpengaruh pada 2 hal. Pertama, pelukan itu bisa menstimulasi endorfin/eksitosin yang bikin seseorang bahagia. Daaaan, saat dipeluk itu rasanya dihargai, disayangi, dikuatkan mbuh lah susah di jelaskan. Aku sering memeluk umiku erat2 sekarang, tanpa alasan. Bukan karena habis dikasih hadiah atau sesuatu. Hanya supaya mungkin bisa sedikit meringankan beban beliau yang sebegitu banyaknya. Beliau mungkin butuh itu. Orang-orang mungkin butuh dipeluk.



Aku juga belajar untuk bilang apapun hal baik yang aku lihat dari seseorang ke orangnya langsung. Misal orang itu baik bgt, di suatu kesempatan yang pas (yang mana sulit ditemukan) aku bakal bilang "Kamu orang baik. Kamu pasti dapat jodoh baik deh. Percaya sama aku." Pokoknya hal-hal yang bisa di puji deh seperti "Duh cantik banget sih", "Gila kamu kuat banget" dkk. Padahal dulu, aku gak mau lho bilang gini ke orang, kalo aku kagum ya udah aku simpan sendiri aja.  Aku mikir kalo aku bilang nanti orangnya jadi besar kepala. Sekarang, pikiranku berubah, kadang orang bener2 butuh dipuji seperti itu, bukan karena dia melakukan kebaikan untuk dipuji, tapi supaya mereka tetap terus melakukan kebaikan itu dan supaya mereka lihat bahwa kebaikan mereka itu kita rasakan kok, gak sia-sia. 

Menurutku juga penting untuk bilang sayang kalo kamu memang sayang. Aku dulu berteori kalo sayang ya dibuktikan dengan perbuatan gak usah banyak cincong. Sekarang, ya memang perbuatan paling penting tapi sangat perlu untuk sekali-sekali bilang kalo sebenarnya kita sayang.

Ah apa sih. Tiba-tiba saya seperti jadi orang paling sok tau.

Yah begitulah. Mungkin saya masih harus belajar banyak untuk mengurangi 30% Alexitimia itu.






x

Jumat, 09 Februari 2018

Mulutmu Harimaumu

Akhir-akhir ini aku bener-bener sadar kenapa Nabi bilang kalo "Diam adalah Emas". Kita gak pernah tau kata-kata kita yang mana yang bisa buat tersinggung orang lain. Dan kita gak pernah bisa baca hati seseorang apakah dia tergores dengan omongan kita.

Mulut kita adalah harimau. Kata-kata kita bisa berpengaruh terhadap sesuatu baik dalam hal kebaikan atau sebaliknya. Satu perkataan kita bisa jadi merubah seseorang. Satu perkataan kita bisa jadi merubah mood seseorang dalam 1 hari. Perkataan kita bisa mengubah keputusan penting seseorang. 

Contoh kata "Alay". Awal kemunculan kata ini sebenarnya gak aku suka. Apa-apa orang dibilang alay. Berlebihan sedikit yang bisa jadi sebenarnya kreatif dibilang alay. Emosional sedikit yang sebenarnya wajar juga dibilang alay. Antusias dibilang alay. Kesannya negatif gimana gitu. Tapi saking trendnya, aku pun jadi bagian orang yang sering bilang "alay" itu.

Aku baru sadar sebenarnya itu gak baik dan kadang kita menganggap remeh sekali hal beginian. Misalnya saja ketika aku lagi melow/sensitif terus aku bercerita ke seseorang, omonganku jadi sangat berat lalu respon orang itu "Kok kamu tiba-tiba alay sih?" Hey Come on! Aku (dan aku yakin setiap orang) tidak selalu ngomong hal remeh temeh, kadang kita juga memikirkan tentang kehidupan, masa depan dan hal-hal berat lainnya. Hanya dengan digituin sama orang itu, aku bisa memutuskan aku gak akan balik dan cerita ke orang itu lagi ketika aku melow/sensitif. 

See? siapa sangka. Mungkin dia gak maksud apa-apa dengan ngomong "alay" tadi. Tapi ternyata itu membuat perubahan tertentu sama orang lain. Nah, apalagi kalo kejadian itu terjadi pada orang-orang yang mengalami beberapa kelainan jiwa misal depresi, cemas, bipolar dan lain-lain. Mereka butuh cerita dan didengar. Masalahnya kadang belum apa-apa orang sudah menjudge : "halaah kamu alay deh", "Ya ampun gitu doang kamu udah kepikiran sampe sebegininya", "Kayaknya kamu aja deh yang kayak gitu", dan sejenisnya.  Akhirnya mereka memutuskan untuk berhenti bercerita, merasa gak akan ada yang ngerti dan tanpa kita sangka mereka bisa jadi memutuskan bunuh diri. See? Padahal bisa jadi gak semua orang akan merespon curhatan mereka dengan jawaban-jawaban itu. Bisa jadi ada orang lain di luar sana ada orang yang mengerti dan mau mendengarkan. Tapi sayangnya karena orang pertama yang jadi tempat dia bercerita itu jawabannya udah gitu, dia menganggap bahwa orang lain akan sama saja.

Kita kadang sering men-judge orang lain terlalu cepat, terlalu mudah hanya dari apa yang kita lihat secara superfisial dan interaksi yang juga gak banyak. Yah, aku pun begitu kadang. Tapi aku juga gak jarang di-judge macam-macam sama orang lain bahkan mungkin yang sebenarnya sudah dekat sama aku. Nge-judge itu sayangnya justru bisa jadi Labelling. Kalo orang yang di-judge/dicap itu kurang baik pengendalian dirinya ya dia bisa ngikuti apa yang dicap orang pada dia. Misal ketika dibilang Kuper. Seseorang bisa bener-bener malas bergaul dan keluar rumah karena memang dari awal dia sudah dibilang kuper bahkan disaat dia belum memulai bergaul.
Ah dunia! Tapi disini pentingnya. Jangan pernah dengerin apa yang orang bilang ke kamu selama kamu pikir itu memang bukan kamu. Kamu ya Kamu. Kamu yang paling tau tentang diri kamu sendiri. Mereka gak hidup sama kamu. Mereka gak pernah tidur bareng kamu. Mereka gak tau isi kepala kamu. Mereka juga gak tau isi hati kamu. Jadi "Keep moving forward and dont give a shit about what anybody thinks. Do what you have to do, for you." (Johnny Depp)

Aku juga belajar bahwa memang apapun itu tidak baik membicarakan orang lain. Di buku Tere Liye berjudul Pukat dan aku bener-bener belajar dari sini, disebutkan bahwa seorang Ibu maksa dan keukeuh tidak mau mendengar anggota keluarganya ngomongin orang lain. Even itu fakta. 
Walaupun fakta, tapi seseorang bisa jadi tidak suka dibicarakan tentang dirinya. Cerewet, ya dia tau memang kalo dia cerewet tapi dia gak suka kalo orang lain bilang dia cerewet atau membicarakannya di belakang. Dia ngorok saat tidur, dia tau itu tapi dia gak suka kalo orang-orang membicarakan fakta itu. Begitu juga dengan kita. Aku ceroboh dan suka menumpahkan sesuatu atau memecahkan suatu barang, tapi aku gak suka kalo orang lain ngomongin masalah itu di depanku apalagi ke orang lain. 

Selain itu belakangan aku mulai menyadari alasan lain kita tidak boleh membicarakan orang lain. Saat kita bercerita tentang orang lain, bisa jadi ada hal yang kita tidak kita ceritakan, atau ada hal yang tanpa sadar kita tambahkan atau bahkan cara kita memperagakan cerita itu tidak benar dan tidak sesuai kenyataan. Aku sudah menyaksikan bagaimana ketika A bercerita ke C tentang B dan mengutip kalimat B dengan nada bicara yang tidak sama dengan B pada saat aku melihat langsung. See? bahkan nada bicarapun berpengaruh dalam sebuah cerita. C benar-benar menganggap bahwa B berarti orang  yang kasar melihat dari cara A mencontohkan cara bicaranya padahal tidak begitu yang sebenarnya. Itu kenapa pula Nabi selalu meminta cupaya cek dan recek kalo dapat berita. Jangan langsung percaya. Lihat tuh gosip-gosip di TV, kata-katanya ditambah, alur cerita dipelintir, bagian tertentu dikurangi. Ckckck

Aku tau aku juga masih bagian dari orang-orang yg sering bilang alay, masih banyak nge-judge orang dan ngomongin orang lain. Tapi sebisa mungkin aku akan berusaha mengurangi. Karena aku juga capek dibilang alay, di judge macam-macam dan mungkin diomongin di belakang. Dan aku rasa semua orang juga tidak mau dibegituin. So, seharusnya kita mulai berhenti dari diri kita sendiri baru kemudian bisa berharap orang lain tidak melakukannya. Bagaimana kalo orang lain tetap memperlakukan kita seperti itu? Tetaplah pada kebaikan dan jalan yang benar. Apa yang orang lain lakukan ke kita tidak bisa dan tidak boleh membentuk kita menjadi orang yang tidak seharusnya. Kebaikan adalah kewajiban kita tidak peduli orang lain memperlakukan kita seperti apa. 

Rabu, 07 Februari 2018

Karma Does Exist!

Kalimat ajib yang udah melegenda dari dulu. Bahasa Inggrisnya aku baru ngeh pas di Twitter kayaknya. Ternyata kalimatnya jadi lebih setrong kalo diInggriskan. Kalimat ini sering aku ucapkan dipikiranku kalo aku mulai kecewa, saat nyindir di kelompok tutorial, ataupun sekarang jadi bahan joke karena saking seringnya aku sebut.

Aku selalu percaya, Karma selalu ada. Sangat sangat percaya. Sudah banyak aku liat bukti dari adanya karma itu dari kejadian-kejadian pada orang lain ataupun yang ada hubungannya dengan diriku. Jujur saja, bisa dibilang aku cukup sering dizholimi. Entah kenapa juga gak ngerti. Mungkin karena asalku, fisikku, tingkah laku atau mungkin karena aku imut. Yaah mungkin orang di luar sana juga pada "Halaah lebay kamu, Mal". Tapi ya they dont walk in my shoes. Jadi mereka gak akan ngerti.



Karma Does Exist. Hati-hati dengan orang yang tidak kamu hiraukan chatnya. Bisa jadi suatu saat nanti kamu akan mengemis minta dibalas chat olehnya tapi dia sudah terlalu sibuk utk balas chatmu.

Karma Does Exist. Hati-hati, jangan pernah sombong dan meremehkan orang lain. Jangan menilai orang lain dari mana asalnya, apa warna kulitnya, bagaimana aksennya, bagaimana bentuk fisiknya, berapa nilai akademisnya. Bisa jadi suatu saat nanti dia  berada di atas dan kamu di bawah. Bisa jadi dia jadi bosmu dan kamu jadi anak buahnya. Bisa

Karma Does Exist. Hati-hati dengan sedikit uang yg kamu ambil namun bukan hakmu. Allah bisa mengambil kapan saja hartamu dalam jumlah lebih besar dan dalam waktu sekejap. Bentuknya mungkin berbeda. Bisa jadi kamu kecurian, kecelakaan, atau sakit keras dan butuh dana yang tidak sedikit.

Karma Does Exist. Hati-hati dengan orang yang kamu tinggalkan. Bisa jadi kamu tidak akan pernah menemukan orang/teman seperti dia. Bisa jadi kamu suatu saat nanti juga akan ditinggalkan dengan cara yang sama dan kamu menyesal lalu mau tidak mau harus balik ke dia.

Karma Does Exist. Hati-hati, jangan merebut punya orang lain. Karena suatu saat nanti punyamu juga pasti  akan direbut orang lain.

Karma Does Exist. Hati-hati perkataanmu terhadap orang lain terutama yg kedudukannya lbh kecil darimu, anak yatim piatu atau kaum papa. Kamu tidak pernah tau kesusahan/cobaan hidup yang kamu alami mungkin karena tangisan doa mereka pada Tuhannya.

Karma Does Exist. Hati-hati dengan orang yang kamu curangi. Suatu saat kamu/anak/keluargamu juga akan dicurangi dengan cara yg lebih sadis.

Karma Does Exist. Hati-hati dengan wewenang yang kamu miliki. Jangan gunakan seenaknya demi kepuasanmu. Kamu tidak lupa bukan wewenang itu hanya titipan dan suatu saat kamu yang akan berada pada posisi tanpa wewenang.

Teruslah Ingat Kawan, Karma Does Exist! Untuk kamu yang diremehkan, ditinggalkan, dijatuhkan, dikucilkan, direbut harta/sesuatu yang berharga, sedang di bawah, tidak dianggap, Jangan khawatir Karma itu ada.

Untuk engkau yang sedang di atas, berwewenang, berkedudukan, berharta, terpandang, berhati-hatilah, Karma Does Really Exist!

Kamis, 18 Januari 2018

Random

Sudah 2018 saja!

Semakin tahun, semakin gak terasa lamanya 1 tahun itu. Gak kayak jaman kecil yang rasanya panjang. Mungkin karena makin dewasa makin sibuk kita dalam sehari dan waktu jadi semakin cepat atau mungkin karena memang sudah mau kiamat.

Gak nyangka ternyata tulisanku tahun 2017 banyak juga. Hahaha. Kalo 2014 banyak sih karena itu tulisan-tulisan yang gak murni aku buat saat memang mau ngeblog dalam artian banyak tulisan yang aku buat karena ada kesempatan lomba menulis misalnya jadi terus tak masukin sini.

Sebenarnya tulisanku tersebar dimana-mana. Di Diary, di blog ini, di file Word rahasia dan di pikiran  (wkwk iya lho yg ini beneran. Aku seperti kakeknya Maruko yang sering buat puisi dalam pikirannya. Apa sih istilahnya lupa). Ya sampe sekarang aku masih nulis diary. Kadang aku penasaran sampe kapan ya aku masih nulis diary. Apa kalo aku udah punya suami dan anak masih ttp nulis diary? Aneh sih tp aku pengennya sih masih. Nulis sampe kapanpun. Diary itu sebenarnya seru. Kadang kalo kita marah, ya ditumpahkan ke diary jadi kita gak perlu marah langsung ke orangnya, jadi bisa berfungsi sebagai pengendalian diri haha. Diary itu juga bagus buat flashback dan kita jadi bs ambil pelajaran dari yang lalu dan bahkan bs bikin ketawa haha. Diary itu juga bikin makin cinta sama diri sendiri. Kalo pas baca ulang tuh rasanya pengen bilang "Ahhh diriku sayang" terus pengen meluk deh tp sayang gak bisa meluk diri sendiri.

Kalo blog ini sih isinya yang masih umum lah, yg gak spesifik nyebutin nama orang misalnya. Kalo di Diary beeeh udah hujatan segala macam isinya. Blog ini juga masih private sekali. Tidak ku bagikan di fb, twitter atau lainnya. Entah menurutku blog ya buat pribadi bukan buat dilihat orang lain. Tapi mungkin suatu saat aku akan membagikan blog ini kalo isinya sudah bisa lebih bermanfaat. Yap, terlintas dalam pikiran.

Apa yaaa. Judulnya aja random. Jadi bingung.

Biasanya aku nulis resolusi di tiap tahun baru atau lbh spesifiknya di tiap masuk semester baru. Banyak target di sisi akademik, agama, kehidupan sehari-hari yang biasanya pas di evaluasi yang tercapai cuma 3-4 wkwk. Aku juga kadang mentargetkan sesuatu tinggi sekali karena aku percaya semakin tinggi target kita, semakin besar usaha kita untuk mencapainya. Semakin tinggi langit yang di targetkan, kalo pun jatuh, jatuhnya tetap masih dalam kategori langit tertinggi. Aku juga percaya bahwa selama mimpi itu gratis, aku akan bermimpi setinggi-tingginya makanya itu targetku kadang tinggi. Toh alam dan seisinya ini bergerak untuk mendukung apa yang kita percayai.

Tapi sekarang aku belum nulis resolusiku. Apa aku udah mulai kehilangan tujuan? Rasa-rasanya semester kemarin juga aku kurang kekeuh sama apa yang aku targetkan, gak pernah lagi membuka buku targetnya sejak waktu awal ditulis. Aku jadi merasa bersalah dan berdosa, jujur saja. Aku takut kalo aku terbawa arus. Aku takut aku gak jadi diriku lagi, diriku yang lebih baik.

Yang jelas, aku ingin jadi pribadi yang baru. Aku akan masuk koas sebentar lagi. Momentum itu bisa aku manfaatkan untuk jadi karakter yang lebih berbeda. Sama seperti dulu aku jadikan momentum masuk SMA sebagai perubahan diriku menjadi lebih ceria, friendly, positif, dan pemberi semangat. Kali ini, aku ingin jadi orang yang lebih berani. Aku ingin lebih terbuka, lebih vokal dalam berpendapat tanpa takut apa yang orang katakan dan walaupun akhirnya ditolak. Aku merasa, orang-orang lain yang bisa jadi lebih ragu, lebih tidak pasti, dan hanya coba-coba, mereka berani bersuara sementara aku yang bisa jadi punya pendapat yang pas justru sangat hati-hati untuk bersuara karena ragu dan takut salah. Coba deh lihat sekitar, banyak orang yang ahlinya hanya diam saja sementara yang bukan ahli dengan PD dan beraninya bersuara (contoh paling gampang di dunia politik).

Aku juga ingin jadi pribadi yang lebih mau mencoba banyak hal. Tidak usah ragu lagi, tidak usah sibuk memikirkan akhirnya. Aku ingin dapat banyak pengalaman. Aku akan jadi dokter dan pengalaman sangatlah penting bahkan mungkin dibanding ilmu itu sendiri. Aku ingin lebih apa yaaa lebih berani ambil risiko. Tidak takut untuk jatuh dan salah. Aku ingin aku merasa gak masalah untuk dipanggil bodoh dan sejenisnya dengan begitu aku lebih berani utk bertanya dan belajar.

Aku pengen stop jadi pemalu. Aku capek. Kadang ketika bertemu orang aku sudah punya pikiran apa yang akan dikatakan kalo ketemu orang itu, tp ujung2nya aku ttp gak mengatakan. Uggh! Misalnya, aku berkungjung kerumah keluarga yang hamil, aku sdh sempat berpikir kalo nanti pas pulang dan salaman aku pengen sekalian bilang "sehat terus ya, semoga hamilnya lancar dan sehat" tp apa ujung2nya aku diam aja. Aku bahkan memikirkan apa yang akan dikatakan kalo nanti ketemu si ini, si itu, kalo kejadian kayak gini, kalo kejadian kayak gitu. Bener2 aneh gak sih.

Gara-gara pemalu ini aku juga jadi gampang segan sama orang lain terutama yang tua dan yang aku kagumi. Akhirnya orang lain menganggap aku pendiam dan kurang asik/friendly/kurang seru. Orang bisa jadi malah menginterpretasikan aku sebagai anggun padahal aku sangat pecicilan. Kan berabe.

Itu sih keinginanku secara umum. Banyak juga target2 lain secara sekarang umurku hampir 22!!! dan sebentar lagi aku bisa benar-benar menghayati lagu Taylor Swift-22 HAHAHA. Aku yakin umur ini akan lebih seru. Beneran seru! Aaamiiinn.

Yang Dipikirkan Sahabat Jomblo Setiap Kita Cerita Kisah Cinta

 Warning: tulisan ini tidak sengaja aku temukan di buku catatanku. Aku juga gak tau ini jaman aku SMA atau Kuliah. Jujur saja aku juga kaget...