Akhir-akhir ini aku bener-bener sadar kenapa Nabi bilang kalo "Diam adalah Emas". Kita gak pernah tau kata-kata kita yang mana yang bisa buat tersinggung orang lain. Dan kita gak pernah bisa baca hati seseorang apakah dia tergores dengan omongan kita.
Mulut kita adalah harimau. Kata-kata kita bisa berpengaruh terhadap sesuatu baik dalam hal kebaikan atau sebaliknya. Satu perkataan kita bisa jadi merubah seseorang. Satu perkataan kita bisa jadi merubah mood seseorang dalam 1 hari. Perkataan kita bisa mengubah keputusan penting seseorang.
Contoh kata "Alay". Awal kemunculan kata ini sebenarnya gak aku suka. Apa-apa orang dibilang alay. Berlebihan sedikit yang bisa jadi sebenarnya kreatif dibilang alay. Emosional sedikit yang sebenarnya wajar juga dibilang alay. Antusias dibilang alay. Kesannya negatif gimana gitu. Tapi saking trendnya, aku pun jadi bagian orang yang sering bilang "alay" itu.
Aku baru sadar sebenarnya itu gak baik dan kadang kita menganggap remeh sekali hal beginian. Misalnya saja ketika aku lagi melow/sensitif terus aku bercerita ke seseorang, omonganku jadi sangat berat lalu respon orang itu "Kok kamu tiba-tiba alay sih?" Hey Come on! Aku (dan aku yakin setiap orang) tidak selalu ngomong hal remeh temeh, kadang kita juga memikirkan tentang kehidupan, masa depan dan hal-hal berat lainnya. Hanya dengan digituin sama orang itu, aku bisa memutuskan aku gak akan balik dan cerita ke orang itu lagi ketika aku melow/sensitif.
See? siapa sangka. Mungkin dia gak maksud apa-apa dengan ngomong "alay" tadi. Tapi ternyata itu membuat perubahan tertentu sama orang lain. Nah, apalagi kalo kejadian itu terjadi pada orang-orang yang mengalami beberapa kelainan jiwa misal depresi, cemas, bipolar dan lain-lain. Mereka butuh cerita dan didengar. Masalahnya kadang belum apa-apa orang sudah menjudge : "halaah kamu alay deh", "Ya ampun gitu doang kamu udah kepikiran sampe sebegininya", "Kayaknya kamu aja deh yang kayak gitu", dan sejenisnya. Akhirnya mereka memutuskan untuk berhenti bercerita, merasa gak akan ada yang ngerti dan tanpa kita sangka mereka bisa jadi memutuskan bunuh diri. See? Padahal bisa jadi gak semua orang akan merespon curhatan mereka dengan jawaban-jawaban itu. Bisa jadi ada orang lain di luar sana ada orang yang mengerti dan mau mendengarkan. Tapi sayangnya karena orang pertama yang jadi tempat dia bercerita itu jawabannya udah gitu, dia menganggap bahwa orang lain akan sama saja.
Kita kadang sering men-judge orang lain terlalu cepat, terlalu mudah hanya dari apa yang kita lihat secara superfisial dan interaksi yang juga gak banyak. Yah, aku pun begitu kadang. Tapi aku juga gak jarang di-judge macam-macam sama orang lain bahkan mungkin yang sebenarnya sudah dekat sama aku. Nge-judge itu sayangnya justru bisa jadi Labelling. Kalo orang yang di-judge/dicap itu kurang baik pengendalian dirinya ya dia bisa ngikuti apa yang dicap orang pada dia. Misal ketika dibilang Kuper. Seseorang bisa bener-bener malas bergaul dan keluar rumah karena memang dari awal dia sudah dibilang kuper bahkan disaat dia belum memulai bergaul.
Ah dunia! Tapi disini pentingnya. Jangan pernah dengerin apa yang orang bilang ke kamu selama kamu pikir itu memang bukan kamu. Kamu ya Kamu. Kamu yang paling tau tentang diri kamu sendiri. Mereka gak hidup sama kamu. Mereka gak pernah tidur bareng kamu. Mereka gak tau isi kepala kamu. Mereka juga gak tau isi hati kamu. Jadi "Keep moving forward and dont give a shit about what anybody thinks. Do what you have to do, for you." (Johnny Depp)
Aku juga belajar bahwa memang apapun itu tidak baik membicarakan orang lain. Di buku Tere Liye berjudul Pukat dan aku bener-bener belajar dari sini, disebutkan bahwa seorang Ibu maksa dan keukeuh tidak mau mendengar anggota keluarganya ngomongin orang lain. Even itu fakta.
Walaupun fakta, tapi seseorang bisa jadi tidak suka dibicarakan tentang dirinya. Cerewet, ya dia tau memang kalo dia cerewet tapi dia gak suka kalo orang lain bilang dia cerewet atau membicarakannya di belakang. Dia ngorok saat tidur, dia tau itu tapi dia gak suka kalo orang-orang membicarakan fakta itu. Begitu juga dengan kita. Aku ceroboh dan suka menumpahkan sesuatu atau memecahkan suatu barang, tapi aku gak suka kalo orang lain ngomongin masalah itu di depanku apalagi ke orang lain.
Selain itu belakangan aku mulai menyadari alasan lain kita tidak boleh membicarakan orang lain. Saat kita bercerita tentang orang lain, bisa jadi ada hal yang kita tidak kita ceritakan, atau ada hal yang tanpa sadar kita tambahkan atau bahkan cara kita memperagakan cerita itu tidak benar dan tidak sesuai kenyataan. Aku sudah menyaksikan bagaimana ketika A bercerita ke C tentang B dan mengutip kalimat B dengan nada bicara yang tidak sama dengan B pada saat aku melihat langsung. See? bahkan nada bicarapun berpengaruh dalam sebuah cerita. C benar-benar menganggap bahwa B berarti orang yang kasar melihat dari cara A mencontohkan cara bicaranya padahal tidak begitu yang sebenarnya. Itu kenapa pula Nabi selalu meminta cupaya cek dan recek kalo dapat berita. Jangan langsung percaya. Lihat tuh gosip-gosip di TV, kata-katanya ditambah, alur cerita dipelintir, bagian tertentu dikurangi. Ckckck
Aku tau aku juga masih bagian dari orang-orang yg sering bilang alay, masih banyak nge-judge orang dan ngomongin orang lain. Tapi sebisa mungkin aku akan berusaha mengurangi. Karena aku juga capek dibilang alay, di judge macam-macam dan mungkin diomongin di belakang. Dan aku rasa semua orang juga tidak mau dibegituin. So, seharusnya kita mulai berhenti dari diri kita sendiri baru kemudian bisa berharap orang lain tidak melakukannya. Bagaimana kalo orang lain tetap memperlakukan kita seperti itu? Tetaplah pada kebaikan dan jalan yang benar. Apa yang orang lain lakukan ke kita tidak bisa dan tidak boleh membentuk kita menjadi orang yang tidak seharusnya. Kebaikan adalah kewajiban kita tidak peduli orang lain memperlakukan kita seperti apa.